Selasa, 27 Desember 2011

Review Jurnal Ekonomi Koperasi XXIV


"Review Jurnal"

KEDUDUKAN DAN KIPRAH KOPERASI DALAM MENDUKUNG
PEMBERDAYAAN UMKM

1. Cinthia Febriani (21210595)

2. Fathia Nafira Fariz (29210128)

3. Sarah Nadia (28210925)

4. Susilona Agustina (26210757)

Kelas: 2EB10

Abstrak
Sesuai dengan devinisi negara, tujuan bernegara dan ketentuan-ketentuan
adanya suatu negara, maka perhatian pemerintah terhadap kehidupan rakyatnya
sangat diperlukan, karena rakyat merupakan salah satu komponen berdirinya
suatu Negara. Bagi Indonesia, rakyat bukan hanya sebagai indikator keberadaan
negara, tetapi juga merupakan penegak kedaulatan yang menduduki tempat paling
tinggi dalam konstitusi. (UUD 1945). Keinginan untuk mensejahterakan semua
rakyat juga merupakan amanat konstitusi dan oleh karena sebagian besar (87,4%)
rakyat Indonesia adalah kelompok usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah
(UMKM), maka pemberdayaan ekonomi rakyat dapat diidentikkan dengan
pemberdayaan UMKM.

I. Pendahuluan
Keinginan menciptakan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dalam
bentuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui perkuatan UMKM sudah
diikrarkan sejak awal masa kemerdekaan dan untuk itu telah dilakukan berbagai
program pembangunan, walaupun sampai sekarang ini masih ada sekelompok
masyarakat yang tergolong miskin. Belum optimalnya keberhasilan pembangunan
ekonomi dari rezim ke rezim yang lain nampaknya tidak terlepas dari konsepsi
dasar pembangunan yang belum sepenuhnya mengutamakan kepentingan pemberdayaan ekonomi rakyat. Indikator dari kondisi tersebut antara lain terlihat
dari semakin menyurutnya peranan koperasi dalam pembangunan ekonomi,
bahkan sebagian ekonom sekarang malah mempertanyakan apakah koperasi
merupakan alternatif kelembagaan uuntuk memberdayakan UMKM, atau hanya
merupakan salah satu solusi. Timbulnya pertanyaan tersebut dari satu sisi terlihat
wajar-wajar saja karena banyak kegiatan-kegiatan yang jika dilakukan oleh
koperasi tidak berhasil (keberhasilannya lebih kecil dibandingakan jika
dilaksanakan oleh pihak-pihak lain). Pertanyaan terlihat janggal, memperhatikan
bahwa keberadaan dan kiprah koperasi merupakan penjabaran dari ekonomi
kekeluargaan yang secara tegas telah dinyatakan dalam UUD 1945.
Memang banyak kegiatan yang dilakukan oleh koperasi belum mencapai
keberhasilan seperti yang dilakukan oleh badan usaha lainnya, tetapi dalam hal ini
perlu dipertimbangkan juga banyaknya faktor yang dapat mendorong atau
menghambat kegiatan usaha koperasi, Faktor-faktor tersebut antara lain, sebagian
pengelola koperasi belum memiliki kepekaan bisnis (sense of bisnis), karena pada
awalnya mereka memang bukan orang-orang profesional. Demikian juga jaringan
bisnis koperasi dapat dikatakan hampir tidak berperan, serta hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan kondisi lingkungan ekonomi dan profesionalisme. Demikian
juga faktor lingkungan (eksternal) yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan
pemerintah, serta lingkungan usaha ekonomi yang dibangun oleh banyak pelaku
usaha lainnya, tidak dapat diharapkan berperan untuk mendukung keberhasilan
koperasi.
Masalah kedua yang dihadapi koperasi adalah dalam membangun
partisipasi anggota koperasinya. Dalam hal ini banyak pakar antara lain Nasution
1991 yang mengatakan “Berikan kebutuhan yang paling diperlukan oleh
anggota”. Azas one man one fote yang menjadi slogan koperasi belum menjadi
daya tarik bagi masyarakat untuk masuk menjadi anggota koperasi. Demikian
juga asas yang merupakan prinsip dasar koperasi ini, belum dapat dipahami oleh
sebagian besar anggota koperasi dengan tingkat kesejahteraan, dan pendidikan
masih rendah, serta lingkungan sosial budaya masih kurang kondusif (adanya
hubungan patron klient, ewuh pakewuh, ndoro kawulo dan lain-lain).
Memang banyak konsep pembangunan partisipasi anggota koperasi yang
bersumber dari koperasi-Koperasi di luar negeri, tetapi konsep tersebut tidak
dapat diaplikasikan karena kondisi faktor-faktor lingkungan ekonomi sosial dan
budaya tidak sama. Kekeliruan yang mungkin perlu diluruskan dalam
membangun partisipasi anggota koperasi adalah adanya anggapan bahwa
penyebab rendahnya partisipasi anggota koperasi lebih dikarenakan besarnya
intervensi pemerintah serta adanya kelemahan kebijakasanaan dasar dalam
pembangunan koperasi yang tertuang dalam UU nomor 25 tahun 1992 dan
heterogenitas anggota koperasi sendiri.
Faktor lain yang menyebabkan tidak konsistennya penilaian terhadap
keberhasilan pembangunan koperasi adalah “Belum adanya standar baku tentang
indikator keberhasilan koperasi, sehingga orang menilai koperasi dari indikator
yang dibangunnya sendiri. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa sesuai denganazas dan prinsip dasar koperasi tujuan pembangunan koperasi adalah untuk
mendukung pembangunan kemampuan ekonomi dari anggotanya. Keberhasilan
koperasi akan dicirikan oleh keberhasilan pembangunan ekonomi anggotanya,
sebagai akibat dari adanya hubungan dalam kegiatan ekonomi antara anggota
dengan koperasi. Dalam memenuhi kebutuhan anggota koperasi seharusnya dapat
berhubungan langsung dengan produsen. Hubungan langsung ini dapat
mengurangi biaya-biaya diluar biaya produksi seperti biaya pembungkus, dan
biaya pemasaran sehingga harga dasar yang diperoleh koperasi dapat lebih murah.
Berbagai masalah yang dihadapi dalam pembangunan koperasi tersebut di
atas, mungkin dapat dijadikan bahan untuk menjawab pertanyaan tentang
kedudukan koperasi dalam mendukung pemberdayaan UMKM. Dalam hal ini
perlu diperhatikan bahwa dari aspek normatif dalam kontek pembangunan
ekonomi di Indonesia koperasi dianggap sebagai alat bagi anggota untuk
mencapai kesejahteraan ekonomi, alat pemerintah untuk membangun
kesejahteraan semua warga masyarakat. Jika koperasi dinyatakan sebagai
kelembagaan alternatif, mungkin perlu diperhatikan bahwa koperasi memiliki
banyak keunggulan dalam mendukung pemberdayaan kelompok-kelompok
miskin. Koperasi juga merupakan organisasi non profit yang dapat
mengumpulkan serta mempersatukan kelompok kelompok marginal, yang karena
kemarjinalannya tidak mampu bersaing dalam pasar bebas. Satu hal lagi yang
merupakan kekuatan koperasi selama ini jarang diperhitungkan adalah ”Koperasi
merupakan bentuk kelembagaan formal yang memiliki jaringan sangat luas
bersifat internasional. Kelemahan dari koperasi adalah karena faktor internalnya
sendiri yang membatasi partisipasi anggota, karena koperasi menghendaki
homogenitas anggota terutama dari aspek kepentingannya terhadap koperasi
(Syarif dan Nasution 1989). Dari adanya berbagai kekuatan koperasi dan dengan
mengeliminir kelemahan yang ada maka koperasi idealnya dapat menjadi aktor
penting dalam mendukung perekonomian nasional, yang dibangun oleh sebagian
besar rakyat yang tergolong dalam kelompok UMKM. Yang perlu mendapat
perhatian adalah bagaimana memposisikan koperasi dalam system perekonomian
nasional. Sedangkan diketahui sekarang ini sangat banyak kendala yang
menghambat pengembangan koperasi, terutama dari aspek kebijakan makro yang
dipengaruhi semangat globalisasi
Selanjutnya kajian mungkin harus diarahkan pada faktor yang
mempengaruhi keberhasilan koperasi terutama yang terkait dengan hubungan
koperasi dan anggotanya sebagai modal utama koperasi antara lain ; Faktor
perekat. Dalam suatu koperasi faktor perekat yang sangat mendasar adalah
kesamaan (homogenitas) kepentingan ekonomi dari para anggotanya. Signifikansi
faktor ini tergambar jelas diperhatikan adanya fenomena bahwa seorang anggota
yang telah berhasil dalam usahanya cenderung akan meninggalkan koperasi
walaupun sebelumnya keberhasilan orang tersebut didukung sepenuhnya oleh
koperasi. Orang tersebut malah merasa tidak memerlukan koperasi lagi.
Peningkatan kemampuan menyebabkan orang berubah kepentingannya maka
orang tersebut dapat pindah ke koperasi lain, yang dapat memenuhi kepentingannya.
Anggaran Dasar (AD) koperasi merupakan cerminan dari kepentingan
anggota. Tetapi sekarang AD diseragamkan (oleh instansi pemerintah), yang
berarti menyeragamkan kepentingan anggota. Hal ini dimaksudkan agar AD yang
disusun sesuai dengan peraturan. Tetapi perlu diingat bahwa perlakuan tersebut
merupakan kesalahan, oleh sebab itu harus diperbaiki. Disini pihak yang
berwenang boleh saja menjadi konsultan dalam penyusunan AD, tetapi sebagai
konsultan yang harus mampu melihat kepentingan anggota dari suatu koperasi
yang akan dibentuk.


II. Kedudukan dan Kiprah koperasi dalam era Tahun 2000-an
1. Kedudukan koperasi dalam System perekonomian Nasional
Walaupun koperasi telah berdiri di Indonesia sejak sebelum
kemerdekaan, tetapi kinerja koperasi sebagai institusi solusi pemberdayaan
ekonomi rakyat (yang pada waktu itu disebut Bumi Putera) belum pernah
mencapai harapan. Kinerja koperasi terus mengalami pasang surut sampai
pada suatu saat (dekade tahun 1990-an) mengalami titik terendah (stagnan),
bahkan kemudian menurun (periode reformasi), sehingga sekarang ini
koperasi oleh sebagian besar masayarakat hanya dianggap sebagai solusi
kelembagaan pembangunan UKM yang banyak bermasalah.
Ketidakmampuan koperasi untuk menjadi solusi kelembagaan
andalan pemberdayaan UKM bukan karena konsepsi dasar kelembagaan
koperasi yang salah, tetapi lebih banyak disebabkan oleh komitmen politik
dan pendekatan pembangunan, yang secara langsung dipengaruhi oleh
politik dan perekonomian dunia. Kondisi globalisasi merupakan salah satu
faktor yang seharusnya mendorong pengembangan koperasi (tantangan agar
kelompok UKM bersatu dalam rangka meningkatkan skala usaha dan
efisiensi), bahkan sekarang sebaliknya menjadi kendala yang menghambat
kelangsungan pengembangan koperasi. Hal ini terkait nampaknya terkait
juga dengan pola pembangunan koperasi yang mengedepankan aspek usaha
dan indikator keberhasilan kuantitatif, yang tidak mendukung kebersamaan
dalam koperasi.

2. Asas dan Prinsip koperasi
Pembangunan atau pemberdayaan koperasi idealnya harus dimulai
dengan memperhatikan asas dan prinsip-prinsip koperasi. Asas gotong
royong dan kekeluargaan yang dianut oleh koperasi sudah secara tegas
dinyatakan dalam amanat konstitusi. Sedangkan prinsip-prinsip dasar
koperasi sebagian besar sudah sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di Indonesia sekarang ini (yang diwarnai dengan ketimpangan
dan banyaknya jumlah orang miskin dan pengangguran).

IV. PENUTUP
Sehubungan dengan permasalahan di atas, berapa issue yang layak untuk
didiskusikan; a) aksesibilitas dan UKM terhadap sumber-sumber permodalan,
terutama untuk menghilangkan kesan bahwa masalah permodalan UKMK dapat
diselesaikan melalui pengembangan Lembaga Keuangan Mikro saja; b) Aspek
perlindungan terhadap koperasi yang selama ini tertutupi oleh semangat
globalisasi yang sebenarnya bertentangan dengan UU Nomor 25 tahaun 1992; c)
Masalah kelembagaan koperasi yang antara lain diindikasikan dari anggapan
sekarang ini bahwa koperasi tidak berbeda dengan jenis badan usaha ekonomi
lainnya dan; d) Evaluasi terhadap berbagai program unggulan yang dilaksanakan
oleh Kementerian Negara koperasi dan UKM.
Sebagai bagian dari kehidupan bangsa pembangunan koperasi tidak
terlepas dari pengaruh perubahan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan, baik
aspek ekonomi, sosial, budaya, hankam ataupun aspek-aspek lainnya. Realita
memperlihatkan bahwa perkembangan koperasi semakin redup, antara lain
disebabkan perubahan kebijaksanaan pemerintah sebagai tuntutan dari era
globalisasi. Kebijakan moneter semakin memperlemah koperasi/UKM untuk
mengakses sumber permodalan. Bank bukan lagi menjadi agen development
Pemilikan BUMN oleh perusahaan asing bukan lagi hal yang aneh. Subsidi kredit
untuk UKM dan koperasi semakin dikurangi.
14
Jika koperasi hanya dijadikan sebagai sebuah alternatif kelembagaan
dalam mendukung pemberdayaan UMKM, sedangkan diketahui bahwa koperasi
memiliki banyak keunggulan dalam mendukung pemberdayaan ekonomi
kelompok-kelompok miskin, maka perlu dipikirkan adanya opsi lain. Namun
demikian dalam pemilihan opsi seharusnya koperasi dinyatakan sebagai suatu
sistem kelembagaan yang dengan kriteria-kriteria tertentu dapat menjadi soko
guru perekonomian nasional, yang dibangun oleh sebagian besar rakyat yang
tergolong dalam kelompok UKM. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana memposisikan koperasi dalam Sistem Perekonomian Nasional
tersebut, sedangkan diketahui sekarang ini sagat banyak kendala yang
menghambat pengembangan koperasi, terutama dari aspek kebijakan makro yang
dipengaruhi semangat globalisasi. Pertanyaan akhir yang perlu dijawab adalah
“Bentuk koperasi yang bagaimana yang seharusnya dibagun di Indonesia ?”
Apakah Koperasi Single Purpose atau Koperasi Multy Purpose ? Kedua jenis
koperasi ini nampaknya cocok, untuk UKM, tetapi harus disesuaikan dengan
bidang usaha, kondisi ekonomi dan sosial dari anggota yang UKM dengan
beragam jenis kegiatan usaha terutama yang bersifat spesifik daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, (2006). Kumpulan hasil-hasil Workshop Pemberdayaan Koperasi dan
UMKM. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya Koperasi dan UMKM
(laporan sementara belum diterbitkan).
Surya Dharma Ali, (2007). Komitmen Pemberdayaan UMKM dan Koperasi.
Disampaikan pada Seminar Prospek Usaha Kecil dan Menengah, Lembaga
Usaha Pengembangan Masyarakat Jakarta.
Nasution Muslimin, (2001). Koperasi, Konsepsi Pemikiran dan Peluang Pembangunan
Masa Depan Bangsa.
-------------- , (1996). Membangun Koperasi Sebagai Wahana Efektif Untuk
Memberdayakan Perekonomian Rakyat. Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional Jakarta.
Ibnu Soedjono. Et.al, (1996). koperasi Di Tengah Arus Liberalisasi Ekonomi.
FORMASI, Jakarta


"Review Jurnal"

JURNAL EKONOMI KOPERASI (PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA)

Nama Kelompok:

1. Cinthia Febriani (21210595)

2. Fathia Nafira Fariz (29210128)

3. Sarah Nadia (28210925)

4. Susilona Agustina (26210757)

Kelas: 2EB10

 Abstrak
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Koperasi yang didirikan pertama kali yaitu koperasi perkreditan yang bertujuan untuk membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Dengan adanya koperasi diharapkan akan dapat meringankan beban rakyat terhadap hutang yang lebih menyengsarakan rakyat akibat bunga yang terlalu tinggi.

1.2Rumusan Masalah
Koperasi yang didirikan pertama kali yaitu koperasi perkreditan yang bertujuan untuk membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Dengan adanya koperasi diharapkan akan dapat meringankan beban rakyat terhadap hutang yang lebih menyengsarakan rakyat akibat bunga yang terlalu tinggi. Namun dalam pelaksanaannya selalu saja mengalami hambatan, sehingga koperasi tidak dapat berkembang.

BAB I I

PEMBAHASAN
1.1Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Masa Ekonomi Liberal
Sistem ekonomi liberal mulai dilaksanakan di Hindia Belanda (nama Indonesia ketika masih dijajah Belanda) setelah pemerintah kolonial Belanda menghentikan pelaksanaan “Cultuur Stelseel (sistem tanam paksa). Sejak saat ini para penanam modal/usahawan Belanda berlomba menginvestasikan dananya ke Hindia Belanda. Bangsa Belanda melakukan praktik penindasan, pemerasan dan pemerkosaan hak tanpa prikemanusiaan makin berlangsung ganas, sehingga kemudian kehidupan sebagian besar rakyat di bawah batas kelayakan hidup.
Dalam keadaan hidup demikian, pihak kolonial terus-menerus mengintimidasi penduduk pribumi sehingga kondisi sebagian besar rakyat sangat memprihatinkan. Di samping itu para rentenir, pengijon dan lintah darat turut pula memperkeruh suasana. Mereka berlomba mencari keuntungan yang besar dan para petani yang sedang menghadapi kesulitan hidup, sehingga tidak jarang terpaksa
melepaskan tanah miliknya sehubungan dengan ketidakmampuan mereka mengembalikan hutang-hutangnya yang membengkak akibat sistem bunga berbunga yang diterapkan pengijon.

1.2Timbulnya Cita -Cita Pembentukan Koperasi di Indonesia
Penindasan yang terus menerus terhadap rakyat Indonesia berlangsung cukup lama menjadikan kondisi umum rakyat parah. Namun demikian masih beruntung semangat bergotong royong masih tetap tumbuh dan bahkan berkembang makin pesat. Di samping itu kesadaran beragama juga semakin tinggi. Pada saat itulah mulai tumbuh keinginan untuk melepaskan dari keadaan yang selama  ini mengungkung mereka. Pemerintah Hindia Belanda tak segan- segan menyiksa mereka baik fisik maupun mental. Sementara itu para pengijon dan lintah darat memanfatkan kesempatan dan keadaan mereka sehingga makin banyak yang terjepit hutang yang mencekik leher. Dari keadaan itulah timbul keinginan untuk membebaskan kesengsaraan rakyat dengan membentuk koperasi.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI.
Adanya Politik Etis Belanda membuktikan adanya beberapa orang Belanda yang turut memikirkan nasib penderitaan/kesengsaraan rakyat Indonesia seperti halnya berkaitan dengan koperasi tanah air kita yaitu E. Sieburgh dan De Wolf van Westerrede. Kedua nama tersebut banyak kaitannya dengan perintisan koperasi yang pertama-tama di tanah air kita, yaitu di Purwokerto.

1.3 Terwujudnya Pendirian Koperasi
Sementara itu pergerakan nasional untuk mengusir penjajah tumbuh di mana-mana. Kaum pergerakan pun dalam memperjuangkan mereka memanfaatkan sektor perkoperasian ini. Titik awal perkembangan perkoperasian di bumi Nusantara ini bertepatan dengan berdirinya perkumpulan “Budi Utomo” pada tahun 1908.
Pergerakan kebangsaan yang dipimpin oleh Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo inilah yang menjadi pelopor dalam industri kecil dan kerajinan melalui keputusan Kongres Budi Oetomo di Yogyakarta kala itu ditetapkan, bahwa:
•Memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui bidang
pendidikan.
•Memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui koperasi
Sebagai wujud pelaksanaan keputusan kongres tersebut, maka dibentuldah koperasi konsumsi dengan nama “Toko Adil”. Sejak saat inilah arus gerakan koperasi internasional mulai masuk mempengaruhi gerakan koperasi Indonesia, yaitu terutama melalui penggunaan sendi-sendi dasar atau prinsip-prinsip Rochdale itu.
Sendi-sendi dasar demokrasi serta dimensi kesamaan hak mulai dikenal dan diterapkan. Dan pada tahun 1912, sendi dasar ini juga yang dipakai oleh organisasi Serikat Islam.

1.4Campur Tangan Belanda Dalam P erkembangan Koperasi Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda bersikap tak acuh dan apatis terhadap gejala yang tumbuh di dalam kehidupan beroganisasi di kalangan penduduk pribumi saat itu. Baru pada tahun 1915 disadari bahaya laten dan sendi-sendi dasar demokrasi yang dianut pergerakan-pergerakan rakyat itu. Pemerintah kolonial lalu mengeluarkan peraturan yang pertama kali mengatur cara kerja koperasi, yang sifatnya lebih membatasi ruang gerak perkoperasian. Karena Belanda khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :
-Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi
-Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa
-Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
-Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda
Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun
1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :
- Hanya membayar 3 gulden untuk materai
- Bisa menggunakan bahasa derah
- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing
- Perizinan bisa di daerah setempat
Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Adanya peraturan yang baru ini membuat pergerakan perkoperasian nasional mengalami kesulitan untuk berkembang. Kesulitan pelaksanaan koperasi tidak saja dialami oleh Budi Oetomo, melainkan juga dialami oleh pergerakan- pergerakan lainnya, seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang dilahirkan pada tahun 1911 silam dipimpin oleh H. Samanhudi.

1.5Koperasi Indonesia Pada Masa P endudukan Jepang
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Pada masa Jepang berkuasa di Indonesia koperasi tidak mengalami perkembangan tetapi justru mengalami kehancuran. Jepang lalu mendirikan ”Kumiai”, yaitu koperasi model Jepang.
Tugas Kumiai mula-mula menyalurkan barang-barang kebutuhan rakyat
yang pada waktu itu sudah mulai sulit kehidupannya. Politik tersebut sangat menarik perhatian rakyat sehingga dengan serentak di Indonesia dapat didirikan Kumiai sampai ke desa-desa. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat.Jelaslah bahwa Kumiai sangat merugikan perekonomian rakyat, sehingga kepercayaan rakyat terhadap koperasi hilang. Hal ini merupakan kerugian moral untuk pertumbuhan koperasi selanjutnya.

Sumber : http://d3d3v1a.wordpress.com/2010/10/14/jurnal-ekonomi-koperasi-perkembangan-ekonomi-di-indonesia/ 

"Review Jurnal"

STUDI PERAN SERTA WANITA DALAM PENGEMBANGAN
USAHA KECIL MENENGAH DAN KOPERASI

Nama Kelompok:

1. Cinthia Febriani (21210595)

2. Fathia Nafira Fariz (29210128)

3. Sarah Nadia (28210925)

4. Susilona Agustina (26210757)

Kelas: 2EB10

Abstrak
Ketika Indonesia dilanda kritis, pemerintah baru tersadar bahwa usaha besar yang dibangga banggakan justru sebagian besar bangkrut/gulung tikar dan memberikan beban berat bagi negara dan bangsa, sebaliknya usaha kecil dan koperasi yang selama ini dipandang sebelah mata mampu bertahan, bahkan berkembang. Ternyata, meskipun selama ini praktek layanan publik dirasakan usaha kecil tidak fair, namun mereka mampu menunjukan kekenyalannya, usaha kecil tetap mendayung sampannya di antara karangkarang lautan yang berombak besar dan berubah-ubah karena tiupan angin kencang. Namun demikian, walau usaha kecil mempunyai daya juang luar
biasa, untuk bertahan hidup dan berkembang perlu diberikan lingkungan berusaha dan dukungan-dukungan lain untuk meningkatkan daya saing dan daya tumbuhnya. Untuk itu isu pembinaan dan pengembangan usaha kecil (termasuk mikro), menengah semakin digalakkan. Identifikasi kebutuhan dan masalah usaha kecil dan koperasi perlu terus dilakukan dalam upaya meningkatkan daya tumbuh dan daya saingnya.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hampir setiap hari, semua media melaporkan kondisi krisis ekonomi yang tak kunjung membaik. Tingkat kesehatan perbankan, dan upaya pemulihan sektor riil seolah tak ada hasilmya, PHK dan pengangguran bertambah. Karena krisis suami sebagai kepala rumah tangga menjadi pegangguran tak kentara. Kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan tak mungkin dihentikan,
memaksa para istri yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga mulai berperan di berbagai bidang usaha. Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang maupun sektor. Dengan potensi tersebut wanita potensial berperan aktif dalam
proses recovery ekonomi yang masih diselimuti berbagai permasalahan ini. Dalam konsisi demikian kajian dengan tema “wanita dan pengembangan usaha” relevan untuk dibicarakan, khususnya dalam upaya menyiasati pemulihan ekonomi serta meningkatkan kemandirian dan kemampuan wanita. Disamping wanita sangat potensial dan memiliki kompetensi dalam pengembangan usaha kecil, menengah maupun koperasi, baik wanita tersebut sebagai pelaku bisnis, pengelola Pembina/ pendamping, ataupun sebagai tenaga kerja. Tentu saja masih terus ditingkatkan kualitas dan profesionalismenya dengan peningkatan kemampuan dan ketrampilannya

1.2. Perumusan Masalah
Wanita memiliki berbagai kelebihan seperti keuletan, etos kerja yang tinggi, juga memiliki kelemahan-kelemahan yang menghambat peran serta dan partisipasinya dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian atau studi secara mendalam guna memperoleh gambaran secara
persis kemampuan dan peran serta wanita dalam kegiatan pengembangan usaha, yaitu : 
1) sampai seberapa jauh kompetensi dan peran wanita dalam berbagai kegiatan atau bidang usaha, 2) kenapa mereka berhasil di suatu jenis usaha tertentu dan kenapa mereka selalu gagal dalam bidang usahalainnya,
3) sampai sejauh mana wanita memiliki kelebihan dan kelemahan dalam melakukan pengembangan usaha, serta 
4) bagaimana kemungkinan pengembangan kemampuan dan peran serta mereka dalam pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi.

1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai pada studi ini adalah :
1) Mengnalisis kemampuan dan peranserta wanita dalam mengembangkan UKMK
2) Mengidentifikasi factor pendorong dan penghambat peranserta wanita dalam pengembangan UKMK
3) Memperoleh alternative peningkatan kemampuan dan peranserta wanita dalam pengembangan UKMK

II. KERANGKA PEMIKIRAN
GBHN 1999 antara lain mengamanatkan perlunya meningkatkan kedudukan danperanan perempuan dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melaluikebijakan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalamberbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Sejalan denganamanat GBHN di atas perlu dilakukan peningkatan peran wanita dalam pengembangan UKMK khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya.Untuk itu perlu dilakukan kajian peran serta dan kemampuan wanita dalampengembangan usaha kecil, menengah, dan koperasi. Untuk mengetahui peranserta dan kemampuan wanita dalam pengembangan UKMK dapat dibedakanmenjadi :
 1) wanita sebagai pelaku UKMK, 
2) wanita sebagai pengelola UKMK, dan 
3) wanita sebagai pembina, pendamping, dan motivator, yang mana dalamperan tersebut diperlukan pengetahuan, kemampuan, dan kompetensi kewirausahaan.
Istilah wiraswasta sebelumnya lebih sering dipakai darpada wirausaha sebagai padanan kata  intrepreneur , berasal dari wira berarti utama, gagah, luhur, berani, teladan, atau pejuang , dan swa berarti sendiri dan ta berarti berdiri, sehingga swasta berarti berdiri diatas kaki sendiri atau berdiri atas kemampuan sendiri.
Dengan demikian wiraswasta/wirausaha berarti pejuang yang gagah, luhur, berani
dan paantas menjadi teladan dalam bidang usaha. Dengan kata lain wirausaha
adalah orang-orang yang memiliki sifat/jiwa kewirausahaan/kewiraswastaan,
yaitu berani mengambil resiko, keutamaan, kreativitas, keteladanan dalam
menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Keterlibatan wanita Indonesia dalam kegiatan ekonomi sebagai wirausaha telah
ada sejak zaman ke zaman, sejak dulu wanita telah terjun dalam dunia
perdagangan, misalnya wanita-wanita di Solo telah membantu ekonomi keluarga,
bahkan sebagai tulang punggung ekonomi keluarga dari usaha batik yang mereka
kelola. Demikian halnya di Palembang, Padang, Lampung, dan Ujung Pandang,
wanita-wanita sukses mengelola industri rumah tangga berupa kain songket.
Lyle M. Spencer dan Signe Spencer dalam bukunya “Competence at work : Models
for Superior Performance 1993” disebutkan : Kompetensi dapat didefinisikan
sebagai karakter mendasar dari seseorang yang menyebabkan seseorang
sanggup menunjukkan kinerja yang efektif atau superior di dalam suatu pekerjaan
atau karakter yang memberikan kontribusi terhadap kinerja menonjol dalam suatu
pekerjaan. Berarti kompetensi merupakan factor-faktor mendasar yang dimiliki
seorang Best/ Superior Performance (berprestasi secara menonjol) yang
membuatnya berbeda dengan Average Performance (berprestasi secara rata-rata
atau biasa-biasa saja). Kompetensi mempunyai cakupan yang jauh lebih
komprehensif yang terdiri dari keterampilan, motif, sifat, citra diri, peran social,
pengetahuan.
Dalam studi ini, untuk mengidentifikasi kompetensi wanita pelaku usaha koperasi
dan UKM, dilihat performance personal pengurus koperasi/pemilik usaha dari aspek
alasan berkiprah di koperasi-UKM, pemanfaatan teknologi, pemikirannya terhadap
diversifikasi usaha, hubungan kerja dengan anak buah dan mitra usaha guna
melihat motif, pengetahuan, ketrampilan, inter personal, dan peran sosial. Aspek
kepemimpinan (sistem pengambilan keputusan, hubungan kerja dengan bawahan/
sejawat), melihat citra diri yang terdiri dari aspek kejujuran dan tanggung jawab,
keterbukaan, kepedulian, respek, dan disiplin. Serta sifat-sifat/ kompetensi yang
seharusnya dimiliki oleh seorang pelaku usaha atau pimpinan yaitu : ulet, berani,
kreatif, proaktif dalam mengantisipasi perubahan, berjiwa besar, berpikir positif,
percaya diri, tegar, introvert atau ekstrovet.
Untuk melihat hasil usahanya dilihat dari kinerja koperasi /UKM, baik kinerja
kelembagaan maupun usahanya. Dengan menganggap faktor luar tidak
berpengaruh, maka bila pelaku usaha memiliki kompetensi usaha maka kinerja
usahanya akan baik. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat
dicari faktor-faktor dominan atau kelebihan-kelebihan yang kebanyakan dimiliki
wanita yang menyebabkan wanita berhasil, dan diidentifikasi kelemahan-kelemahan
yang dimiliki wanita yang biasanya akan menjadi penghambat keberhasilannya,
serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam mengelola usaha. Untuk
peningkatan kemampuan wanita diidentifikasi kebutuh peningkatan pengetahuan
dan ketrampilannya.
III. METODA PENELITIAN
3.1. Lokasi
Studi ini dilaksanakan di lima propinsi yaitu : Sumatera Barat, Jawa Barat,
Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat.
3.2. Metode Penelitian dan Analisis Data
3.2.1. Metode Studi
Studi ini menggunakan metoda survey, namun berbeda dengan
penelitian konvensional, metodologi studi perempuan pada umumnya
dan penelitian yang perspektif gender pada khususnya merupakan
penelitian aksi participatory “untuk” perempuan (bukan penelitian
“tentang perempuan”). Penelitian untuk perempuan, yaitu penelitian
yang mencakup kebutuhan, minat, pengalaman perempuan, sebagai
instrument untuk meningkatkan status kehidupan dan
kesejahteraannya (Duelli Klein, 1983). Untuk itu dibutuhkan perubahan
sebagai berikut a). Perubahan Obyek Menjadi Subjek Penelitian,
b).Topik penelitian, harus berawal dari isu actual yang ditemukan di
lapangan (grounded research), c).Alur Penelitian dari Bawah ke Atas,
d) Penelitian kualitatif, akomodatif antara peneliti dan responden yang
diteliti, untuk bekerja sama, saling menghormati, saling bergantung
dan saling membantu. Metode yang banyak dikembangkan adalah
observasi partisipasi, e). Penempatan pengalaman pribadi sebagai
suatu material.
Tehnik pengumpulan data primer dengan pengamatan dan diskusi,
pengmatan langsung di lapang, dengan menggunakan kuesioner. Data
sekunder diperoleh dari studi pustaka, Dinas Koperasi dan UKM serta
instansi terkait baik tingkat propinsi maupun kabupaten berupa
publikasi, dokumen, laporan kegiatan.
3.2.2. Penetapan Sampel dan Responden
Penetapan kelompok usaha bersama wanita (KUB), pelaku usaha
wanita diberbagai jenis usaha, asosiasi pengusaha wanita, Pembina/
pendampingan usaha, koperasi wanita atau koperasi lainnya yang
pengurus/pengelolanya sebagian besar wanita sebagai sample maupun
respondennya dilakukannya secara sengaja (purposive sampling
method
3.2.3. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data dilaksanakan dengan cara tabulasi dan analisa data
dilakukan secara diskriftif reflektif
3.3. Ruang Lingkup
Aspek yang menjadi focus dalam penelitian ini adalah:
- Identifikasi kompetensi wanita dalam pengembangan usaha atau
kewirausahaan, yang terdiri dari ; motif, sifat, citra diri, peran social,
pengetahuan, ketrampilan
- Identifikasi peran serta wanita dalam berbagai kegiatan usaha dari berbagai
sector usaha, kelompok usaha bersama (KUB), koperasi wanita atau
koperasi lainnya yang pengelolanya sebagian besar wanita
- Identifikasi kinerja KUB wanita, kegiatan usaha wanita diberbagai jenis
usaha, sosiasi usaha, pendampingan usaha, koperasi wanita atau koperasi
lainnya yang pengelolanya sebagian besar wanita
- Identifikasi faktor pendorong dan penghambat peran serta wanita dalam
pengembangan kegiatan usaha
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kinerja Kelembagaan dan Usaha Koperasi Sampel
Dari 10 koperasi sampel di 5 propinsi lokasi studi, hampir seluruhnya Koperasi
Wanita (9 koperasi), dan hanya satu Koperasi jenis lainnya yaitu KSU (tabel
1). Kegiatan usaha pokok koperasi sampel adalah simpan pinjam, sedang
kegiatan usaha lain yang ditangani antara lain KCK, toko/ waserda, kantin/
catering, wartel/ kiospon, kredit barang dan konveksi. Pengurus Koperasi
sample berjumlah 3 sampai 6 orang , 5 Koperasi 5 Koperasi (50%) telah
memiliki manager dengan pendidikan SLTA (3 kop: K1, K2 Jabar dan K1 Sulsel),
dan S1 (2 Kopwan Jatim). Dari tenaga kerja (TK) yang dimiliki, 4 koperasi
contoh termasuk kecii hanya menggunakan tenaga kerja 1 sampai 3 orang,
2 koperasi agak besar yaitu menggunakan TK 6 an 9 orang dan 2 koperasi
termasuk besar yaitu Kopwan Jatim dengan tenaga kerja 66 orang ( K1) dan
94 orang (K2). Curahan waktu pengurus dalam mengelola Koperasi ada yang
secara sambilan : 3 sampai 4 jam per hari ( 3 koperasi ), namun kebanyakan
full time : 6 - 8 jam per hari (K1,K2 Kalbar dan K1 Sulsel), bahkan pengurus
Kopwan Jatim 12 jam dan 15 jam per hari.
Dilihat dari jumlah anggota, 2 Koperasi contoh dapat dikategorikan koperasi
kecil, dengan jumlah anggota 60 dan 66 orang, kategori koperasi sedang 2
koperasi dengan anggota 129, dan 136 orang , 2 koperasi agak besar dengan
anggota 218 dan 342 orang,1 koperasi termasuk besar dengan anggota 518
orang, dan 3 koperasi termasuk sangat besar dengan anggota 1121 orang (
K1 Sulsel) , 6349 orang ( K1 Jatim ) dan 9177 orang ( K2 Jatim). Sedang dari
perkembangan anggotanya , perkembangan anggota paling rendah K2 Jabar
yaitu menurun 37,5 % dan perkembangan paling tinggi adalah K2 Sumbar
34,69 % dan K1 Jatim 35,67 %.
Keberhasilan dan Kegagalan Wanita Sebagai Pelaku Usaha
Keberhasilan wanita ditunjang dari kelebihan-kelebihan wanita yang
merupakan faktor dominan terhadap keberhasilannya sebagai pelaku usaha
antara lain telaten, jujur sehingga lebih dipercaya, ulet, sabar, teliti, cermat,
serius, tekun, berani mengambil resiko, tangguh, tidak mudah menyerah,
memiliki jiwa bisnis atau wira usaha, kemauan keras, semangat, dedikasi
dan loyalitas tinggi, terbuka, bekerja dengan ikhlas, selalu menjaga nama
baik, tidak egois, disiplin dalam administrasi maupun pengelolaan keuangan,
yang mana kelebihan-kelebihan tersebut harus selalu dijaga dan
dikembangkan.
Sebaliknya wanita memiliki pula kelemahan-kelemahan yang dapat menjadi
penyebab kegagalannya sebagai pelaku bisnis antara lain : memanfaatkan
kesempatan untuk kepentingan pribadi, tidak berani mengambil resiko, kurang
percaya diri, atau terlalu percaya diri, terlalu berambisi sehingga menangani
usaha diluar kemampuannya, wawasan sempit sehingga kurang informasi,
tidak bisa membagi waktu atas peran gandanya, sibuk dengan urusan keluarga
sehingga curahan waktu untuk kegiatan usahanya minimal, kurang sabar atau
emosi tinggi, menetapkan keputusan dengan tergesa-gesa, masih bergantung
atau didominasi suami, consumtive, tidak terbuka, tidak bersungguh-sungguh,
yang mana kelemahan-kelemahan tersebut hendaknya diminimalisir
4.4 Permasalahan Yang Dihadapi dan Kiat Yang Dilakukan Koperasi atau
UKM Dalam Pengembangan Usahanya
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi UKM maupun koperasi demikian
pula UKMK wanita dapat mempengaruhi kinerjanya, meskipun hal-hal tersebut
merupakan permasalahan klasik perlu dicarikan pemecahannya.
Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain kurang modal, lemahnya
SDM, kurang sarana/ prasarana, sulitnya akses ke perbankan, kurang
menguasai pasar, kurang menguasai penggunaan teknologi, yang meskipun
pelaku usaha wanita mempunyai kompetensi lebih, perlu juga dicarikan
jalan keluarnya secara lintas sektoral atau terpadu.
4.5 Alasan Mengapa Wanita Berkiprah Di Koperasi atau UKM
Pertanyaan apa alasan atau motivasi wanita melakukan usaha, yaitu untuk
menentukan apa yang ingin dicapai, tujuan apa yang hendak dicapai, serta
produk apa yang akan dihasilkan. Dari 32 responden wanita pelaku usaha,
ternyata 31 orang (96,88 %)menyatakan ingin mengurangi pengangguran atau
menciptakan lapangan usaha, kemudian ingin meringankan beban keluarga
10 orang (31,35%), ingin mengubah nasib 8 orang (25 %), ingin menjadi diri
sendiri 5 orang (15,12%), lain-lain yaitu ingin mengembangkan orang lain,
agar berguna bagi orang lain, meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi
sebanyak 3 orang (31,35 %). serta yang menjawab ingin kaya hanya 1 orang.
Banyaknya motivasi wanita melakukan usaha karena ingin mengurangi
pengangguran atau menciptakan lapangan usaha, menunjukkan adanya
kesadaran dari wanita atas kondisi pengangguran yang semakin meningkat,
adanya kesadaran dari wanita untuk menciptakan pekerjaan bukan mencari
pekerjaan.
4.7 Pemanfaatan Teknologi Dan Pemikiran Diversifikasi Usaha
Teknologi sangat bermanfaat dalam rangka pengembangan usaha, baik dalam
rangka peningkatan kualitas maupun kuantitas karena dengan teknologi
pekerjaan berjalan secara otomatis akan mempersingkat waktu, mungkin bisa
menekan biaya, dan meningkatkan kualitas produk. Atas pertanyaan
pemanfaatan teknologi, dari 32 responden ternyata 24 orang ( 75 %)
menggunakan teknologi dan selebihnya 8 orang ( 25 % ) tidak memanfaatkan
teknologi
Teknologi yang telah dimanfaatkan responden antara lain computer untuk usaha
simpan pinjam, wartel, mesin jahit, microwave, sarana angkutan, alat penangkap
ikan dengan tenaga surya, mesin photo copy, dan sebagainya. Sedang yang
belum memanfaatkan teknologi karena memang kegiatan usahanya belum
memerlukan teknologi modern, namun ada juga yang sebetulnya membutuhkan
belum bisa memanfaatkan karena kendala keuangan sehingga teknologi
tersebut belum terjangkau.
Sejalan dengan optimisme pelaku usaha dan kepercayaan atas
kemampuannya, ternyata dari 32 responden 23 orang (71,85%)menyatakan
selalu memikirkan tentang diversifikasi usaha, 7 orang (21,88%) menyatakan
kadang-kadang, dan hanya 2 orang (6,25%) tidak pernah memikirkan tentang
diversifikasi usaha. Diversifikasi usaha yang akan dilakukan pelaku usaha
antara lain K1 Sulsel ingin membantu pemasaran produk kerajinan kelompokkelompok
prouktif yang dibinanya, dan UK ingin memanfaatkan bahan baku
yang ada di wilayahnya, membuka unit-unit usaha baru tentu saja disesuaikan
dengan ketrampilan dan kemampuan yang dimilikinya. Pemikiran terhadap
diversifikasi usaha mungkin juga disebabkan karena usaha yang digeluti sudah
jenuh.
4.8 Hubungan Kerja Antara Pimpinan/ Pelaku Usaha Dengan Bawahan/
Sejawat dan Mitra Usaha
Hubungan kerja pimpinan/ pelaku usaha dengan anak buah/ staf/ manajer
atau dengan sejawat seperti dalam koperasi dengan Badan Pengawas hampir
seluruhnya: 28 orang (87,5%) menyatakan tidak ada kesulitan, yang
menyatakan pernah ada kesulitan 2 orang (6,25 %) dan kadang-kadang 2
orang (6,25%). Tidak adanya kesulitan dalam hubungan kerja dengan bawahan
adalah wajar karena sampel dalam penelitian ini koperasinya juga tidak terlalu
besar, paling banyak menggunakan tenaga kerja 66 dan 94 orang yaitu K1
dan K2 di Jawa Timur sedang usaha kecil yang dijadikan sampel juga usaha
rumah tangga yang menyerap tenaga kerja 4-10 orang dan paling banyak 15
orang.
Dalam hal hubungan dengan mitra usaha, dalam penelitian ini ternyata dari
32 responden yang menyatakan tidak ada kendala 19 orang (59,38 %), sedang
yang ada kendala 13 orang (40,62%). Kendala hubungan dengan mitra usaha
kebanyakan yang banyak diperlukan adalah kemitraan dengan BUMN atau
BUMS belum jalan, pembayaran tidak tepat waktu, kesulitan dalam penagihan
cicilan pada anggota, dan lain sebagainya.
4.9 Kebutuhan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan
Dalam hal peningkatan pengetahuan, materi yang paling banyak diminati pelaku
usaha wanita adalah pemasaran dan bisnis 20 orang ( 62,5 %), perilaku
konsumen atau pelanggan 17 orang ( 53,12 %), lingkungan strategis 15
responden, kemudian trend baru, hukum, dan perundang-undangan masingmasing
11 orang (46,88%), dan hanya satu orang (3,12%) yang tertarik tentang
laporan keuangan dan akuntansi.
Dalam hal peningkatan ketrampilan, yang banyak dibutuhkan oleh pelaku
usaha wanita adalah mengenai peningkatan ketrampilan manajerial: 20 orang
(62,5%), memasarkan produk :17 orang ( 53,12 %), penggunaan teknologi
dan sumber daya masing-masing: 16 orang (50 %), kemudian melakukan
inovasi sesuai dengan kegiatan usahanya 15 orang (46,88%), dan
memproduksi barang dan jasa : 12 orang (37,5 %).
4.10 Persepsi Terhadap Citra Diri Dan Kompetensi Pelaku Usaha
Dari 32 responden pimpinan atau pelaku usaha kecil dan pengurus koperasi
wanita yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, ternyata 23 orang (71,88%)
kepemimpinannya bersifat partisipatif yaitu dalam mengambil keputusan
meminta pendapat, masukan, dan saran dari staf atau anak buah dan 9 orang
(28,12%) kepemimpinannya bersifat semi partisipatif yaitu dalam pengambilan
keputusan mendengarkan pendapat, masukan, dan saran dari staf atau anak
buah meskipun keputusan tetap ditangani pimpinan sendiri.
Penelitian terhadap citra diri pimpinan pelaku UKM dan pengurus koperasi
yang terdiri dari kejujuran, tanggung jawab, keterbukaan, kepedulian, respek,
dan disiplin, dari 32 responden yang dinilai, ternyata dalam hal kejujuran 22
orang (68,75%) dinilai baik, 2 orang (6,25%) dinilai sedang, selebihnya: 8
orang (25 %) dinilai kurang. Dalam hal tanggung jawab 28 orang (87,5%)
dinilai baik, 4 orang (22,5%) dinilai sedang, dari segi keterbukaan 24 orang
(75 %) dinilai baik, 7 orang (21,88%) dinilai sedang, dan 1 orang (3,12%)
dinilai kurang. Dalam hal kepedulian 23 orang (71,88%) dinilai baik, 9 orang
(39,13%) dinilai sedang, dalam hal respek 18 orang (25%) dinilai baik dan 14
orang (43,75%) dinilai sedang, dan dalam hal disiplin 22 orang (68,75%) dinilai
baik, 10 orang (31,25%) dinilai sedang. Dengan demikian hampir semua
unsur citra diri pelaku usaha dinilai baik dan sedang.
Dari kompetensinya, seluruhnya responen memiliki sifat ulet, yang memiliki
sifat berani mengambil resiko 26 orang (81,25%), yang kreatif 23 orang
(71,88%), yang proaktif menghadapi perubahan 21 orang (65,62%), yang
memiliki jiwa besar 25 orang (78,12%), yang memiliki percaya diri tinggi 27
orang (84,38%), yang tegar atau tidak mudah putus asa 26 orang (81,25%),
dan seluruhnya (100%) bersifat ekstrovet (terbuka). Dengan demikian dari 32
pelaku usaha wanita yang dinilai belum seluruhnya memiliki kompetensi yang
seharusnya dimiliki seorang pelaku usaha atau wirausaha yaitu masih ada
yang tidak berani mengambil resiko, tidak kreatif, tidak proaktif menghadapi
perubahan, tidak berjiwa besar, kurang percaya diri, dan tidak tegar atau mudah
putus asa.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dalam kegiatan UKM, wanita berperan sebagai pelaku usaha atau
sebagai pemilik, sebagai manager ataupun tenaga kerja. Dalam kegiatan
koperasi, wanita dapat berperan sebagai anggota, pengurus, pengawas,
manager, pembina ataupun pendamping usaha. Peran serta wanita dalam
berbagai sektor, namun sesuai dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki
wanita seperti tekun, teliti, ulet, sabar, jujur, tangguh, rasa tanggung jawab
tinggi, kemauan keras, semangat tinggi, disiplin, maka kebanyakan
wanita berhasil dalam bidang keuangan, kerajinan, industri pengolahan,
hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini yang mana hampir seluruh
koperasi dengan kegiatan usaha pokoknya simpan pinjam cukup berhasil.
Sedang sebagai pengusaha kecil wanita banyak bergerak dalam usaha
pertokoan, industri makanan dan minuman, konveksi/garmen, salon/rias
pengantin sekaligus memproduksi assesorisnya, kerajinan dari lontar,
kaca, keramik dan sebagainya.
2. Koperasi contoh yang dikelola wanita, dapat diketegorikan koperasi kecil,
sedang, besar dan sangat besar dilihat dari kelembagaan khususnya
jumlah anggota dan tenaga kerjanya, maupun kinerja usahanya dan hampir
semuanya berjalan cukup baik. Dari penelitian ini terdapat Koperasi Wanita
yang cukup menonjol dan dikategorikan sangat besar yaitu K1 Sulsel
dengan anggota lebih 1000 orang, K1 Jatim dengan anggota lebih 6000
orang dan K2 Jatim dengan anggota lebih 9000 orang. Ketiga koperasi
ini juga memiliki kinerja usaha seperti modal sendiri, modal luar, volume
usaha, sisa hasil usaha cukup besar dengan perkembangan cukup baik
pula. Ketiga Koperasi tersebut memiliki omset atau volume usaha per
tahun cukup tinggi yaitu K2 Jatim (Rp 35,41 M), K1 Jatim (Rp 6,5 M),
dan K1 Sulsel (Rp 2,6 M), yang mana VU ini akan memberikan multifier
effect pada usaha mikro dan kecil di wilayahnya karena kebanyakan
VUnya berupa pinjaman modal kerja pada UKM. Adapun koperasi dengan
kategori kecil, sedang dan besar, meskipun nilai nominal usahanya tidak
terlalu besar namun memiliki perkembangan baik selama dua tahun
terakhir, seperti K1 Jawa Barat, K2 Kalimantan Barat, dan K1 Sumatera
Barat. Kinerja usaha kecil sampel cukup baik pula, dilihat dari modal
swadaya, omset, dan margin yang dicapai yaitu rata-rata lebih dari 25
%, meskipun dalam hal penyerapan tenaga kerjanya masih relatif kecil.
Dengan demikian dapat dikatakan wanita memiliki kompetensi cukup
baik dalam pengembangan UKMK. Dengan syarat benar-benar
mencurahkan cukup waktu dan pikirannya dalam kegiatan tersebut.
3, Dilihat dari kelebihannya, wanita pelaku usaha memiliki berbagai kelebihan
seperti ulet (54,4%), tanggung jawab( 34,38 %), teliti dan rasa tanggung
jawab masing-masing 34,38 %, tekun, sabar dan jujur masing-masing
21,88 %, kreatif dan ingin maju masing-masing 18,75% dari jumlah
sampel, merupakan faktor dominan penyebab wanita berhasil sebagai
pelaku usaha, dan sebaliknya memilki kelemahan antara lain karena
kurang dukungan keluarga ( 37,5 % dari jumlah sampel), kurang dukungan
lingkungan dan pemerintah setempat (28,12% dari jumlah sampel), peran
ganda (21,88 %), kurang berani mengambil resiko dan bersifat konsumtif
masing-masing 15,62 %, kurang profesional (12,5% dari jumlah sampel )
merupakan faktor penyebab wanita gagal sebagai pelaku usaha.
4. Koperasi/UKM sampel masih menghadapi permasalahan-permasalahan
dalam mengembangkan usahanya, seperti kurang modal, lemahnya SDM,
kurang menguasai teknologi/pasar memperngaruhi kinerja usaha,
sehingga permasalahan-permasalahan tersebut perlu dicarikan pemecahan
secara terpadu.
5, Hampir seluruh responden wanita pelaku usaha menyatakan ingin
menciptakan lapangan usaha/mengurangi penggangguran sebagai
motivasi mengapa berkiprah dalam dunia usaha (96,88 % dari jumlah
sampel), hal ini menunjukkan adanya kesadaran wanita untuk ikut serta
mengatasi kondisi kritis yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya
dengan semakin meningkatnya penggangguran.
5. Sebanyak 87,8 % responden wanita pelaku usaha yang menyatakan
tidak ada kesulitan dalam menjalin hubungan kerja dengan anak buah,
sejawat, ini menunjukkan responden memiliki kemampuan peran sosial
yang baik
6. Dari penilaian anak buah/pembina tentang kepemimpinan, hubungan kerja,
citra diri dan kompetensinya, ternyata 72,7% sampel wanita pelaku usaha
kepemimpinannya bersifat partisipatif, 27,3 % semi partisipatif, dan tidak
ada yang bersifat otoriter. Dalam hal hubungan kerja dengan bawahan/
sejawat, ternyata 15 orang (46,87% dari jumlah sampel dinilai bersifat
terbuka, 23 orang (21,87 % dari sampel) mau mendelegasikan tugas
pada anak buah, dan tidak yang bersifat suka bekerja sendiri. Adapun
citra diri seluruh sampel dilihat dari aspek kejujuran, keterbukaan,
tanggung jawab, kepedulian, respek dan disiplin, seluruhnya dinilaii baik
dan sedang, tidak ada yang dinilai kurang. Dalam hal kompetensi sampel,
ternyata belum seluruh wanita pelaku usaha yang dijadikan sampel
memiliki seluruh kompetensi yang seharusnya dimiliki, yaitu masih ada
yang tidak berani mengambil resiko, tidak kreatif, tidak proaktif, tidak
berjiwa besar, tidak percaya diri, dan tidak tegas.
7. Terdapat kesadaran dan kemauan yang tinggi dari wanita pelaku usaha
untuk meningkatkan kemampuan ketrampilannya agar dapat meningkatkan
usahanya, baik dalam bentuk pendidikan/pelatihan, studi banding,
maupun magang. Materi peningkatan pengetahuan yang paling banyak
diminati yaitu tentang bisnis 21 responden (65,62%), kemudian
pemasaran, konsumen/pelanggan, dan lingkungan strategis, masingmasing
diminati oleh 20, 17, dan 16 responden atau masing-masing 62,5
%, 53,12%, dan 50% dari sampel. Materi peningkatan ketrampilan yang
paling banyak diminati adalah peningkatan ketrampilan manajerial 21
responden (65,5%), kemudian cara memanfaatkan teknologi,
memanfaatkan sumberdaya, memasarkan produk masing-masing diminati
oleh 17 responden atau 53,12%.
5.2 Saran
1. Untuk mengatasi permasalahan dalam sulitnya akses pada sumbersumber
permodalan, pemerintah diharapkan dapat memberikan
kemudahan pada koperasi/UKM memperoleh fasilitas kredit, konsep Modal
Awal Padanan (MAP) yang dirintis BPSKPKM yang mudah diakses
koperasi/UKM mungkin implementasinya dapat diperluas.
2. Guna meningkatkan kompetensi pelaku usaha dalam rangka
meningkatkan usahanya perlu dilakukan peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dari pelaku usaha koperasi/UKM baik berupa diklat, kursus,
magang, studi banding, ataupun perbandingan usaha, yang mana
materinya sesuai dengan kebutuhan dan kegiatan usahanya.
3. Adanya kebutuhan pembinaan manajerial, pelayanan bisnis lainnya untuk
memudahkan akses pada sumber permodalan, kerjasama dengan sumber
bahan baku, informasi pasar, untuk itu implementasi LPB ( Lembaga
Pelayanan Bisnis) ataupun pendampingan bisnis implementasinya
hendaknya diperluas untuk pelaku usaha wanita.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Laporan Akhir Penelitian Peranan Wanita Dalam Pengembangan
Koperasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi,
Departemen Koperasi, 1991-1992;
Hesti, R.Wd. Penelitian Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam
Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Sosial Edisi IV
Nopember 1996;
Hetifah, S. dkk, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, Seri
Penelitian AKATIGA, Yayasan AKATIGA 1995;
Masykur Wiratmo, Pengantar Kewiraswastaan Kerangka Dasar
Memasuki Dunia Bisnis, BPFE – UGM Yogyakarta, edisi Pertama;
Porter Michael E, “Competitive Advantage”, The Free Press, 1985;
Siagian Salim dan Asfahani, Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat
17-8-1945, Puslatkop. PK Depkop dan Pembinaan Pengusaha Kecil,
Jakarta;
Sumampaw, S.A. dkk, Ada Bersama Tradisi Seri Usaha Mikro Kecil,
Swisscontact dan Limpad, 2000.

"Review Jurnal"

PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA

Nama Kelompok:

1. Cinthia Febriani (21210595)

2. Fathia Nafira Fariz (29210128)

3. Sarah Nadia (28210925)

4. Susilona Agustina (26210757)

Kelas: 2EB10

abstrak
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga
kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro
dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan
rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga
keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP
Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan
UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/
USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan
konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang
memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu
mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.
2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari
alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan
penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang
pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis
terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai
hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam
menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan
solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun
sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
b. Batasan Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat
dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah
mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel
yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
c. Rumusan Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan
menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan,
baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya
diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti
Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil
yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan
pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan
dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.
3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan
dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/
Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda
Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan
perkoperasian.
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan Koperasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan
perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan,
industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil
dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai
99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja
lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46.
Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan
pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program
pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan
keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di
bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan
stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi
pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi
kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/
Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya
dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP
pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi
dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang
merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya
dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi.
Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan
pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang
dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi
salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
III. METODE
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,
Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar,
Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.
2. Metode dan Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra
produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan,
lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP,
serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota.
Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui induksi data,
deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan, maupun dengan validasi experties. Dengan
demikian, analisis pengkajian lebih bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan
keperluan untuk merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan.
Perumusan model meliputi beberapa substansi pokok dan penting sebagai solusi
pengkajian yaitu : (1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa keuangan, (2)
perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa non keuangan, dan (3) kelembagaan
pemusatannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak
75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk
dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya
menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola
oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak
Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil
menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun
143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai
keberhasilannya adalah :
q Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah
koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota,
membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,
baik anggota maupun pengurus.
q Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau
dari kemampuan teknis maupun non teknis.
q Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut
falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
q Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan
rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan “dibaiat”
(disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan,
manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan
ke pengadilan.
q Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar
masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
q Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil
kapan saja.
q Manajemen menganut falsafah “mudah, cepat dan meriah”, Mudah dalam arti
prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin,
bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi
diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran
kecil sampai menengah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan
adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dankonveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa
usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak
melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku
bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat
dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena
kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen
simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/Kota adalah : (a) kerjasama antar koperasi dengan pola
waralaba, (b) koperasi sekunder, (c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank, (d) Bank Perkreditan Rakyat, (e) kerjasama koperasi primer dan bank
dengan pola Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus
dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud
agar dapat mempertahankan ciri masing-masing keunggulannya.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi. Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning
Process Approach. Dalam Public Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.
Jakarta.

;;

By :
Free Blog Templates