Selasa, 20 November 2012

HUBUNGAN antara demokrasi dan ekonomi diaksiomakan oleh adanya paralelitas antara  kebebasan sipil pada tingkat politik dan timbulnya kemakmuran pada level ekonomi. Zóltan Tibor Pállinger dalam Direct Democracy in Europe (1997: 9) menyebut demokrasi merupakan sistem yang memungkin politik berjalan efisien. Pada giliran selanjutnya, efisiensi di bidang politik mendorong timbulnya efisiensi bidang ekonomi. Apa yang kemudian penting digarisbawahi, pembangunan ekonomi mustahil bisa diwujudkan menjadi kenyataan manakala sebelumnya tak ada prasyarat demokrasi yang mendorong lahirnya kebebasan politik dan ekonomi.

Bahkan, Earl A. Thompson dan Charles Robert Hickson dalam Ideology and the Evolution of Vital Economic Institutions (2000: 13) berbicara tentang efisiensi ekonomi sebagai keniscayaan untuk menyimak keberhasilan demokrasi. Mereka dengan telak menggunakan istilah economic efficiency of democracy. Itulah mengapa, compang-campingnya perekonomian suatu bangsa merupakan cacat terhadap pelaksanaan demokrasi. Seberapa gegap gempitanya demokrasi dikumandangkan, tetap saja memiliki kebermaknaan yang terbatas manakala demokrasi gagal mendorong terciptanya efisiensi ekonomi.

Dalam perspektif yang lain, efisiensi ekonomi memiliki pengertian yang hampir sama dengan keadilan ekonomi. Robin Hahnel dalam Economic Justice and Democracy (2005: 5 dan 49) menyinggung adanya koherensi antara keadilan ekonomi dan keberhasilan melaksanakan demokrasi. Di sini, keadilan ekonomi dijadikan point of view kebermaknaan demokrasi. Keadilan ekonomi bisa dianalogikan sebagai mercusuar yang mampu memberikan arah kepada pelaksanaan demokrasi secara tepat. Dari sini kemudian lahir konsepsi demokrasi ekonomi yang berpijak pada prinsip economic-self-management.

Pertanyaanya kemudian, bagaimana dengan Indonesia? Apakah demokrasi di Indonesia seiring sejalan dengan efisiensi ekonomi?

Dengan nada getir haruslah dikatakan, pelaksanaan demokrasi di Indonesia gagal menghadirkan efisiensi ekonomi. Terhitung sejak akhir dekade 1990-an, Indonesia menjadi negara demokratis di dunia. Bahkan, Indonesia ditengarai sebagai negeri paling demokratis di Asia Tenggara serta tercatat sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang mempraktikkan demokrasi. Tragisnya, aktor kekuasaan yang mendeterminasi perjalanan demokrasi tak cukup memiliki komitmen dan kapasitas menciptakan efisiensi ekonomi.

“Efisiensi ekonomi” yang dimaksudkan di sini mencakup di dalamnya keadilan ekonomi. Bagaimana sumber-sumber produktif dimanfaatkan secara optimal untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan berpijak pada prinsip efisiensi. Baik aspek regulasi, infrastruktur maupun daya dukung kelembagaan masuk ke dalam cakupan efisiensi tersebut. Dari pengertian ini lantas terkuak beberapa persoalan.

  • Pertama, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi dapat disimak pada terus bertahannya ekonomi biaya tinggi.  Sejak kekuasaan otoriter Orde Baru,  ekonomi biaya tinggi telah sedemikian rupa membuncah menjadi persoalan besar. Pungli, suap dan sogok untuk memperlancar kegiatan usaha telah bergulir sejak era Orde Baru. Tragisnya, realitas buruk ini tak dapat diamputasi hingga pada kurun waktu pelaksanaan demokrasi dewasa ini. Misalnya, pungutan tanpa kejelasan parameter di wilayah pelabuhan menyangkut handling charge, kebersihan kontainer, dan jasa bongkar muat justru memicu mahalnya harga jual produk-produk impor. Inefisiensi ekonomi dalam konteks ini menyudutkan masyarakat konsumen sebagai tumbal pengorbanan.
  • Kedua, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi terpatri pada buruknya infrastruktur. Sebagai infrastruktur yang kasat mata, jalan raya di berbagai pelosok Nusantara kini tak dapat diandalkan sebagai tulang punggung terciptanya efisiensi ekonomi. Justru, jalan raya mengalami degradasi makna dan fungsi pada era demokrasi kini. Padahal, pada era Orde Baru, jalan raya  relatif lebih bisa diandalkan sebagai infrastruktur untuk memperlancar distribusi produk maupun mobilitas manusia. Pada era demokrasi kini kehancuran infrastruktur juga tercermin pada pola pemeliharaan. Perbaikan jalan di Pantai Utara Jawa (Pantura), misalnya, tak memandang penting efisiensi ekonomi. Sehingga tak mengherankan jika perbaikan jalan di Pantura itu malah memicu timbulnya kemacetan.
  • Ketiga, kegagalan demokrasi mendorong terjadinya efisiensi ekonomi terkait erat dengan lumpuhnya fungsi intermediasi bank. Ternyata, lembaga perbankan lebih cenderung menyimpang uangnya dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), ketimbang menyalurkannya ke sektor riil. Hingga akhir April 2010, dana SBI mencapai Rp 346,66 triliun. Jumlah ini merupakan peningkatan sekitar 49% dibandingkan periode sama 2009 sebesar Rp 233,45 triliun. Pembengkakan dana SBI ini berdampak pada beban bunga yang harus dibayarkan BI. Tak mengherankan jika pada 2008 Bank Indonesia mencatat surplus sebesar Rp 17,24 triliun, pada 2009 justru defisit sebesar Rp 1,009 triliun (lihat “Intermediasi Masih Bermasalah”, tajuk Republika, 15 Mei 2010).

Dengan permasalahan yang terang-benderang itu, sesungguhnya tak ada waktu mundur (time of no return) untuk melakukan koreksi terhadap perjalanan demokrasi kita. Problema pada tingkat filosofis dapat dirumuskan dengan kalimat: apalah artinya demokrasi jika tidak jua tercapai efisiensi ekonomi? Ini berarti, tidak mungkin para aktor demokrasi melihat trio persoalan yang dikemukakan di atas semata sebagai teknis perekonomian. Pada tiga persoalan di atas sesungguhnya termaktub tanggung jawab moral pelaksanaan demokrasi.

Terutama bagi para aktor demokrasi di parlemen, niscaya untuk menjadikan trio persoalan itu sebagai masalah kebangsaan. Jika trio persoalan itu tak ditemukan solusinya pada tingkat filosofi, teknis dan strategi, maka selama itu pula tak pernah tercipta koherensi antara demokrasi dan efisiensi ekonomi. Indonesia lalu menjadi negara demokratis yang menyedihkan.

Inefisiensi Sebabkan Ekonomi Tumbuh Lambat

JAKARTA - Ada inefisiensi yang menyebabkan perekonomian Indonesia tidak tumbuh lebih cepat dari sebelumnya. Selain itu, perekonomian dinilai sensitif terhadap suku bunga, sedangkan suku bunga amat dipengaruhi oleh inflasi.

"Selama ini inflasi rata-rata relatif tinggi jadi BI menurunkan suku bunga sesuai inflasi. Jadi ke depan kita harus bisa mengendalikan inflasi ke level yang lebih rendah," ujar Chief Economist Research Institute Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa, di Jakarta, kemarin.

Tingginya infasi dan suku bunga, menurut dia, mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengalami cost capital advantage, di mana bunga yang harus dibayar menjadi lebih tinggi.

"Jadi untuk bersaing di luar negeri kita terpaksa menurunkan cost yang lain, di antaranya menurunkan upah buruh. Jadi upah buruh kita tidak sebaik dibandingkan negara-negara tetangga," jelasnya.

Problem lainnya adalah inefisiensi dari sisi pembelanjaan. "Kita lihat tahun lalu saja tiba-tiba kita surplus, padahal kita menginginkan kelebihan uang anggaran Rp77 triliun," ujar dia.

Artinya, pemerintah tidak bisa membelanjakan kelebihan uang tepat waktu, akibatnya fiskal stimulus tidak terlalu banyak dirasakan oleh sektor riil.

Jika birokrasi tidak diperbaiki, Purbaya mengkhawatirkan APBN tidak dapat dibelanjakan dengan baik dan tepat waktu. Akibatnya dorongan dari sisi fiskal akan menjadi minimum terhadap perekonomian.

"Kalau itu yang terjadi, kebijakan fiskal apapun gak ada gunanya. Program ini harusnya sudah dilihat atau disadari oleh menteri keuangan dan presiden," ungkap dia. (Arief Sinaga /Trijaya/jri)

SUMBER


“Ekonomi Hijau adalah merupakan keniscayaan sebagai solusi dari ancaman kehancuran peradaban yang diakibatkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan, termasuk yang termanifestasikan dalam perubahan iklim dan pemanasan global.”
(Prof.Dr.Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS)



Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak diimbangi oleh upaya konservasi yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup manusia tampaknya mulai menampilkan dampak negatif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan lingkungan alam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia sendiri. Isu pemanasan global dan perubahan iklim hanyalah sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang tidak hanya bersifat lokal tetapi global. 

Meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan ini mendorong negara-negara di dunia untuk memikirkan upaya pengimbangan laju ekonomi dengan upaya konservasi lingkungan alam dan melahirkan paradigma ekonomi yang memasukkan aspek lingkungan ke dalamnya, atau yang lebih dikenal sebagai ekonomi hijau. Kebanyakan negara dan pemangku kepentingan meyakini bahwa ekonomi hijau adalah solusi bagi permasalahan ini serta dapat membawa kehidupan dan peradaban global menjadi lebih baik, berkeadilan, sejahtera, dan berkesinambungan.

”Ekonomi hijau” adalah istilah yang licin. Pemaknaannya bisa sangat manipulatif. Implementasinya penuh tipu daya pihak yang lebih kuat.

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai suatu kesatuan dari pertumbuhan ekonomi ”rendah karbon”. Yang dimaksud adalah pertumbuhan yang tidak mengandalkan bahan bakar fosil, penggunaan sumber daya yang efisien dan berkeadilan sosial.

Dari definisi itu, tak sulit menghubungkan gagasan ”ekonomi hijau” dengan isu perdagangan karbon dalam perundingan tahunan Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tentang REDD.
Seperti dikemukakan Larry Lohmann dari lembaga internasional yang mendukung gerakan komunitas untuk keadilan lingkungan dan sosial, The Corner House, ”Sulit untuk tidak mengungkap isu pasar karbon dalam ekonomi hijau.”

Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan.

Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. Sebut saja, meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Di samping itu adalah ketimpangan rata-rata pendapatan penduduk negara kaya dengan negara miskin.

Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar. Menjadi jembatan antara pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam. Tentunya konsep ekonomi hijau baru akan membuahkan hasil jika kita mau mengubah perilaku.



* Ekonomi hijau atau solusi apa pun, menurut Siti Maimunah dari Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, harus memenuhi empat syarat yang saling berkelindan, yakni keamanan manusia, memperhitungkan utang ekologi, hak atas tanah, serta pola produksi dan konsumsi.

* Masalah besarnya, menurut Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, adalah perubahan tata guna lahan yang drastis akibat pemberian konsesi kehutanan, perkebunan, pertambangan untuk perusahaan raksasa.


SUMBER 





Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) adalah kumpulan dari standar akuntansi yang dikembangkan oleh Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang menjadi standar global untuk penyusunan laporan keuangan perusahaan publik.

Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keuangan dan laporan keuangan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksud dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang:
  • Transparan bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan.
  • Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.
  • Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna.
IFRS dianggap sebagai kumpulan standar “dasar prinsip” yang kemudian menetapkan peraturan badan juga mendikte penerapan-penerapan tertentu.

Standar Laporan Keuangan Internasional mencakup:
  • Peraturan-peraturan Standar Laporan Keuangan Internasional
  • Peraturan-peraturan Standar Akuntansi Internasional
  • Interpretasi yang berasal dari Komite Interpretasi Laporan Keuangan Internasional
  • Standing Interpretations Committee (SIC)
  • Kerangka Kerja untuk Persiapan dan Presentasi Laporan Keuangan
RUANG LINGKUP STANDAR

Standar ini berlaku apabila sebuah perusahaan menerapkan IFRS untuk pertamakalinya melalui suatu pernyataan eksplisit tanpa syarat tentang kesesuaian dengan IFRS. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan perusahaan yang pertamakalinya berdasarkan IFRS (termasuk laporan keuangan interim untuk periode pelaporan tertentu ) menyediakan titik awal yang memadai dan transparan kepada para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang seluruh periode disajikan.


KONSEP POKOK
  • Tanggal pelaporan (reporting date) adalah tanggal neraca untuk laporam keuangan pertama yang secara eksplisit menyatakan bahwa laporan tersebut sesuai dengan IFRS (sebagai contoh 31 Desember 2006).
  • Tanggal transisi (transition date) adalah tanggal neraca awal untuk laporan keuangan komparatif tahun sebelumnya (sebagai contoh 1 Januari 2005, jika tanggal pelaporan adalah 31 Desember 2006).
Pengecualian untuk penerapan retrospektif IFRS terkait dengan hal-hal berikut:
  • Penggabungan usaha sebelum tanggal transisi.
  • Nilai wajar jumlah penilaian kembali yang dapat dianggap sebagai nilai terpilih.
  • Employee benefits.
  • Perbedaan kumulatif atas translasi (penjabaran) mata uang asing, muhibah (goodwill), dan penyesuaian nilai wajar.
  • Instrumen keuangan, termasuk akuntansi lindung nilai (hedging).
KERANGKA STANDAR PELAPORAN KEUANGAN INTERNASIONAL 

pengantar Internasional keuangan pelaporan standar Hamengkubowono keuangan pelaporan standar internasional:
  1. Pertama kali diadopsi dari standar pelaporan keuangan internasional (IFRS 1)- penerapan pertama sedudo Dari Standar Pelaporan Keuangan Indonesia
  2. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 2) - dibayar saham berdasarkan Standar Pelaporan Keuangan Indonesia 2 (IFRS 2) - Saham berbasis pembayaran
  3. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 3) - kombinasi bisnis IFRS 3 (IFRS 3) - Penggabungan Usaha
  4. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 4) - Standar Pelaporan Keuangan Indonesia No 4-asuransi kontrak (IFRS 4) - Kontrak Asuransi
  5. Iinternasional keuangan pelaporan standar (5 IFRS)-non-Aktiva diadakan untuk dijual dan penghentian bisnis Standar Pelaporan Keuangan Indonesia (IFRS 5)-aktiva tidak lancar Yang dimiliki untuk dijual Dan Operasi Dalam penghentian
  6. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 6)-Standar Pelaporan Keuangan Indonesia eksplorasi dan evaluasi terhadap sumber daya mineral (IFRS)-eksplorasi Dan evaluasi Sumber Daya mineral
  7. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 7)-instrumen keuangan: pengungkapan internasional keuangan pelaporan Standar No 7 (IFRS 7)-Instrumen Keuangan:Pengungkapan
  8. Keuangan pelaporan standar internasional (IFRS 8) - beroperasi parsial internasional keuangan pelaporan Standar No 8 (IFRS 8) - Segmen Operasi
WAKTU

Standar Akuntansi Internasional (IAS) oleh Komite Standar Akuntansi internasional  (IASC) yang diterbitkan antara tahun 1973-2000. Pada tahun 2001, standar akuntansi internasional Board (IASB) menggantikan papan standar akuntansi internasional. Pada tahun 2001, International akuntansi standar Board (IASB) telah menggantikan Dewan Standar Akuntansi Indonesia. Karena kemudian, standar akuntansi internasional Board on Xiu menetapkan beberapa standar akuntansi internasional dan amandemen untuk standar akuntansi internasional lainnya, dan baru keuangan pelaporan standar internasional (IFRS) alih-alih standar akuntansi internasional tertentu isu-isu awal yang diusulkan tidak tertutup oleh international akuntansi standar diadopsi atau diusulkan baru keuangan pelaporan standar internasional. Sejak itu, Dewan Standar Akuntansi Indonesia pada bagian dari menetapkan Standar Akuntansi Xiu Indonesia, dan menyarankan bahwa lain Standar Akuntansi Indonesia direvisi dan baru Standar Pelaporan Keuangan Indonesia (IFRS) untuk menggantikan beberapa Standar Akuntansi Indonesia, Standar Akuntansi Indonesia topik tidak tercakup ditetapkan atau diusulkan oleh International Standar Pelaporan Keuangan baru. Melalui komite nuklir, standar akuntansi internasional papan dan standar akuntansi internasional papan mengeluarkan pemberitahuan penafsiran pedoman. Nukleasi Komite, Akuntansi Indonesia dan Dewan Standar Akuntansi Indonesia Dewan Standar mengeluarkan interpretasi dari pedoman. Hanya jika laporan keuangan sesuai dengan pedoman masing-masing berlaku dan penjelasan dari semua persyaratan pemberitahuan, dan mengklaim bahwa laporan keuangan sesuai dengan pedoman pelaporan keuangan internasional. Hanya ketika Tagadmin keuangan mengikuti kuliah dari dengan masing-masing pedoman yang berlaku dan sesuai semua Kemenag untuk mengklaim bahwa Tagadmin keuangan mengikuti Standar Pelaporan Keuangan Indonesia.

 SUMBER :
- http://hafismuaddab.wordpress.com/2012/05/20/mengenal-lebih-dekat-standar-akuntansi-ifrs-international-financial-reporting-standards/
- http://akunt.blogspot.com/2012/04/standar-pelaporan-akuntansi.html


KUALITAS YANG DIBUTUHKAN OLEH AKUNTAN DAN ATAU AUDITOR

Robert J. Lindquist pernah membagikan kuesioner kepada staff nya. Diantaranya diajukan pertanyaan ini: Kualitas apa saja yang harus dimiliki seorang akuntan? Dari kuesioner tersebut dapat disimpulkan jawaban , bahwa akuntan haruslah mempunyai kualitas:
  • Kreatif – kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan situasi bisnis yang normal.
  • Rasa ingin tahu – keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.
  • Tak menyerah – kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
  • Akal sehat – kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
  • Business sense – kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
  • Percaya diri – kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita, sehingga kita dapat bertahan dibawah cross examination (pertanyaan silang) dari Jaksa penuntut atau Pengacara.

DanUntuk pertama kalinya, dalam kongres tahun 1973 IAI menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia, yang saat itu diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
  1. Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
  2. Profesionalisme. Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
  3. Kualitas Jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
  4. Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika sebagai berikut : (Mulyadi, 2001: 53)

1. Tanggung Jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 
Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik.
 Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi. 
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.

3. Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

4. Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri, pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir.
Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.

6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

III. KESIMPULAN

Informasi yang dihasilkan akuntan harus menggambarkan keadaan perusahaan yang sebenarnya. Hal ini terutama karena tanggung jawab moral akuntan adalah kepada pihak esrtern perusahaan sebagai pemakai informasi laporan keuangan. Pihak ekstern sangat mengendalikan laporan keuangan karena mereka sulit mendapatkan informasi perusahaan. Oleh karena itu, akuntan harus bekerja dengan memperhatikan kode etik profesi akuntan. Jadi sangat penting untuk diingat bahwa akuntan harus bekerja berdasarkan standar yang berlaku dan tidak dengan sengaja membuat informasi yang menguntungkan kepada pihak-pihak tertentu.

SUMBER:
http://tentanginternalaudit.blogspot.com/2011/04/kualitas-apa-saja-yang-dibutuhkan.html
- http://andamifardela.wordpress.com/2011/10/16/etika-profesi-akuntansi-2/

;;

By :
Free Blog Templates