Jumat, 15 Februari 2013

RSBI / (BI-01-SS-12)

Agar tak jadi polemik, pasca putusan MK membubarkan RSBI, Pemkot Malang segera meminta penjelasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Apalagi sampai kemarin siang, belum ada penjelasan resmi tentang nasib RSBI. 

‘’Minggu depan, kita kirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan agar memberi tanggapan. Sehingga tidak terjadi penyikapan di masing-masing daerah secara berbeda,’’ jelas Wali Kota Malang Peni Suparto, menyikapi putusan MK membubarkan RSBI.

Inep, sapaan  akrab Peni Suparto mengatakan, dalam surat yang dikirim ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu, diantaranya  meminta agar ada imbauan yang jelas pasca putusan MK tentang RSBI.
Sebab, lanjut dia, jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak segera menentukan sikap, akan membingungkan masyarakat. Pasalnya menurut dia, saat ini masyarakat sedang bingung dan terkelompok dalam berbagai pendapat.

‘’Keputusan MK membuat masyarakat terbagi dalam beberapa kelompok, menurut sudut pandang masing-masing. Ada kelompok  yang keras patuh karena menilai itu merupakan keputusan hukum,’’ paparnya.
Namun disisi lain, terdapat pula kelompok masyarakat yang menolak keputusan MK tentang pembubaran RSBI. ‘’Sedangkan kelompok masyarakat yang ketiga memilih berada di tengah-tengah,’’ sambung mantan dosen IKIP Negeri Malang ini.
Karena itulah kini menurut Inep, penjelasan dan petunjuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat penting. Sehingga bisa menjawab berbagai persoalan dan ketidakpastian yang dialami masyarakat.
Mantan anggota DPR RI ini mengaku, sampai kemarin siang belum mengetahui secara jelas tentang pelaksanaan putusan MK. Namun demikian, Inep memastikan akan patuh pada putusan hukum.
Inep juga berharap agar putusan MK itu tak mengganggu proses belajar mengajar dan tak mengundang keresahan. Dia juga berharap ada solusi yang terbaik bagi pendidik, peserta didik dan wali murid RSBI.
Masyarakat juga diimbau tak cemas soal pungutan RSBI. Jika memang saatnya membayar biaya pendidikan RSBI, sebaiknya tetap membayar. Kalau memang nantinya ada putusan harus mengembalikan biaya RSBI, maka biaya yang sudah terlanjur dibayar dikembalikan.
Terpisah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kota Malang menegaskan, meski RSBI sudah dibubarkan namun kegiatan belajar mengajar tidak boleh dihentikan. Sekolah harus tetap berjalan seperti biasa, tidak boleh berhenti kegiatan-kegiatannya, sampai akhir semester ini.

‘’Sampai tahun ajaran baru nanti, kegiatan belajar di sekolah RSBI masih berlanjut seperti sebelumnya,’’ ungkap Sekretaris Dikbud Kota Malang, Jupri.

Hal senada juga diungkapkan Ketua MKKS SMA Kota Malang, Tri Suharno. Menurutnya, karena saat ini sedang berada di tengah-tengah semester genap, kegiatan belajar mengajar di RSBI harus dilanjutkan. Tidak bisa serta merta dipotong. Pelajaran harus dituntaskan hingga Juni, akhir semester genap.
Sementara itu dalam website resmi Kemdikbud membeberkan langkah selanjutnya yang akan ditempuh Kemdikbud adalah segera mengundang dinas pendidikan baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk berkoordinasi, membahas langkah berikutnya.

Selain itu Kemdikbud juga berkoordinasi dengan MK. Hal ini terkait dengan penafsiran keputusan MK, apakah berimplikasi pada penghentian semua RSBI ataukah hanya sekolah RSBI negeri.

Sumber : http://www.malang-post.com/tribunngalam/60009-rsbi-dibubarkan-inep-surati-mendikbud

Rabu, 13 Februari 2013

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mencoba mobil listrik buatan Dasep Ahmadi di kantornya sore ini. Setelah mencoba mobil tersebut, apa komentar Hatta?

"Saya ini orang enginering, jadi saya tahu mobil yang bagus bagaimana, mobil ini bagus, suspensinya sangat bagus, sangat stabil, tidak kalah dengan mobil lainnya," kata Hatta di kantornya usai memimpin Rapat Koordinasi Mobil Listrik, Rabu (9/1/2013).

Hatta mencoba memutar keliling satu putaran di depan halaman kantornya. Bahkan Hatta sempat tancap gas mencoba kecepatan dan kehandalan mobil yang berseri G 5.0 E-CAR Ahmadi. Hatta didampingi langsung oleh Dasep Ahmadi dan Direktur Utama PLN, Nur Pamudji.

Sebelumnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan juga sempat menjajal mobil listrik buatan Dasep Ahmadi tersebut. Dahlan Iskan untuk pertama kali mengendarainya pada Juli 2012. Mobil listrik bikinan insinyur Dasep Ahmadi ini melaju dari Depok, Jawa Barat, menuju Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jalan Thamrin, Jakarta.

Hatta sendiri ketika pertama kali melihat mobil ini sudah langsung tertarik dan hendak membelinya.

"Itu mobil listriknya? Saya pesan satu," cetus Hatta kepada Dasep sang pembuat mobil listrik.

Menurut Hatta, mobil listrik banyak manfaatnya, selain ramah lingkungan, pengunaannya pun sangat mudah. "Mobil listrik banyak manfaatnya, kami dukung," tukas Hatta.

Sementara dikatakan Dasep, mobil listrik jauh lebih banyak manfaatnya, salah satu ketika jalan turunan, misal dari puncak, mobil jangan selalu direm.

"Karena ketika turunan, mobil listrik otomatis akan mencharger sendiri (atau otomatis mengisi baterai sendiri) dan pastinya irit kampas rem," tandas Dasep.

Sebelumnya, Dasep mengatakan, saat ini harga 1 unit mobil listrik tersebut di bawah Rp 200 juta. Diharapkan, ke depannya pemerintah bisa memberikan insentif sehingga menekan harga mobil tersebut.

Menteri BUMN Dahlan Iskan juga sebelumnya telah membeli mobil listrik buatan Dasep ini. Bahkan Dahlan seringkali terlihat membawa sendiri mobil listrik berwarna hijau tersebut dalam beberapa kali kesempatan.

Hatta: KTT APEC di Bali Semuanya Pakai Mobil dan Bus Listrik

Pemerintah serius mendukung gerakan energi dan ekonomi ramah lingkungan (green energy & blue economy). Salah satunya dengan menargetkan penggunaan kendaraan berbahan bakar listrik pada pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Bali.

"Target kami (pemerintah) pada APEC nanti di Bali, semua kendaraan operasionalnya nanti semuanya menggunakan mobil dan bus listrik," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (9/1/2013).

Kebijakan penggunaan kendaraan listrik ini nantinya untuk menunjukkan pada dunia, Indonesia mendukung gerakan ramah lingkungan. "Ini akan menunjukkan kepada dunia Indonesia mendukung green energy dan blue economy," ucap Hatta.

Jadi nanti, kata Hatta, tidak hanya mobil, tapi bus listrik juga akan dipakai pada pertemuan APEC di Nusa Dua, Bali pada November nanti. "Ada bus listriknya juga," ungkap Hatta.

Tetapi, tidak semua kendaraan di APEC nanti pakai listrik, tetapi ada juga yang masih menggunakan bahan bakar fosil (BBM), khusus mobil kepala negara yang dibawa dari negaranya masing-masing.

"Tapi terkecuali untuk mobil kepala negara yang dibawa dari daerahnya masing-masing," cetus Hatta.

Sumber : http://oto.detik.com/read/2013/01/09/181128/2137652/1207/jajal-mobil-listrik-evina-hatta-jatuh-cinta?ot1207

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan mobil listrik. Ia mengklaim di era modern saat ini, mobil listrik memiliki banyak manfaat.

Di tengah pasar mobil yang terus menggeliat, Dahlan menilai mobil listrik juga harus mendapatkan peluang. Sebab mobil listrik diklaim dapat menghemat Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ramah lingkungan.

“Ada tiga manfaat, yang pertama BBM pasti akan habis dan akan mahal, masa negara mau subsidi terus. Kedua, masyarakat ingin bahan bakar yang murah, yaitu listrik, dan yang ketiga, kita hidup dengan polusi begitu berat, mobil listrik ini tak ada produksi polusi sama sekali, harus bergerak beralih ke kendaraan listrik,” katanya di Jatimulya, Cilodong, Depok, Senin (16/07/12).

Soal harga mobil listrik, kata dia, pihaknya belum memikirkan hal itu. Yang terutama adalah masalah mutu mobil listrik.

“Sekarang belum konsen ke sana, yang penting mutu. Mutu dulu, setelah ini anggap saja Agustus sudah tak menyita perhatian dan energi lagi, baru menghitung harga terbaik,” paparnya.

Dahlan menjamin harga mobil listrik tak akan lebih mahal dari mobil biasa. Terutama masyarakat diuntungkan dengan merogoh kocek yang lebih ringan untuk membeli bahan bakar listrik.

“Tentu bisa lebih murah, ada keringanan pajak. Konsumen bisa diuntungkan, yang biasanya satu bulan bisa Rp300-400 ribu, nanti Anda hanya akan habis Rp60 ribu per bulan untuk beli listrik jadi murah,” imbuhnya.

Sumber : http://ekbis.sindonews.com/read/2012/07/16/33/658944/manfaat-mobil-listrik-bagi-dahlan-iskan

Pemerintah pusat mengalokasikan dana hibah kepada DKI Jakarta sebesar Rp3,1 triliun untuk merealisasikan proyek Mass Rapid Trasport (MRT) pada tahun 2013. Dengan anggaran itu diharapkan moda transportasi masal Jakarta itu bisa segera terwujud.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2013 dijelaskan dana itu masuk pos belanja pemerintah pusat yang didapatkan dari pinjaman atau hibah luar negeri, yang kemudian dihibahkan ke daerah. Anggaran itu berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA).

"Pelaksanaan konstruksi fisik program MRT terdiri dari tiga tahap, di mana konstruksi fisik tahap I dimulai tahun 2012," tulis Pemerintah dalam Nota Keuangan RAPBN 2013.

Pemerintah pusat dalam hal ini menanggung sebesar 42 persen dari beban pinjaman tersebut, sedangkan sisanya diberikan dalam bentuk pinjaman yang harus dikembalikan pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Selain ditujukan sebagai solusi masalah kemacetan di Jakarta, proyek tersebut nantinya diharapkan juga dapat meningkatkan petumbuhan ekonomi di Jakarta, dan menambah penciptaan lapangan kerja.

Pada tahun 2011 pemerintah menganggarkan belanja hibah untuk proyek MRT sebesar Rp6,8 miliar. Sedangkan dalam APBN-P 2012 anggaran tersebut hanyalah sebesar Rp1,5 miliar. Penurunan angka itu disebabkan pada tahun ini kebutuhannya hanyalah untuk membayar jasa konsultan proyek MRT.

Tahap I pembangunan proyek ini adalah koridor Selatan-Utara sepanjang 15,7 km, dari Lebak Bulus (Jakarta Selatan) - Bundaran HI (Jakarta Pusat).

Sumber :
 http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/347225-bangun-mrt--dki-jakarta-dapat-hibah-rp3-1-t

Menteri Keuangan Agus Martowardojo meminta agar Pemprov DKI Jakarta mempersiapkan studi kelayakan (feasibility study) sebaik mungkin. Hal ini sebagai bentuk kompensasi dari kenaikan pembiayaan yang ditanggung pemerintah pusat dari 42% menjadi 49%.

"Kita harap ada FS yang baik untuk dijadikan pegangan, jadi ini masih bentuk menaikkan komposisi yang ditanggung pemerintah pusat jadi 49%, tapi harus ditindaklanjuti dengan FS yang baik," ujar Agus Marto saat ditemui di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat (25/1/2013).

Menurut Agus Marto, studi kelayakan tersebut harus disusun ulang guna memenuhi kebutuhan dengan perkembangan terkini bukan berdasarkan keadaan ketika FS itu dibuat tahun 2005. 

"Kelihatannya yang ada di 2005 masih terbatas, masih sifatnya dalam rangka permintaan pinjaman kepada JICA, jadi bagaimana kelayakan usaha dengan kondisi terkini," jelasnya

"Jadi kalau seandaianya MRT tidak sampai HI tapi terus sampai kota, termasuk barat ke timur, kemampuan membayar daripada calon pelanggan dan kemauan untuk membayar semua harus masuk dalam studi itu," tandasnya.

Seperti diketahui, pemerintah pusat siap membiayai proyek MRT dari APBN hingga 49% dari total nilai proyek. Sisanya atau 51% langsung dari pemerintah provinsi DKI sendiri.

Sumber : http://finance.detik.com/read/2013/01/25/152753/2152229/4/agus-marto-minta-jokowi-lakukan-studi-kelayakan-proyek-mrt-kembali


Setelah sempat mengalami tarik ulur, akhirnya rencana pembangunan moda transportasi massal berbasis rel yaitu Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta akan segera terwujud. Kepastian ini setelah adanya keseriusan dari Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Racjasa, berjanji untuk memberikan penjaminan terhadap proyek transportasi massal. Keseriusan ini terlihat dengan adanya koordinasi antara Hatta Radjasa dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, untuk membicarakan masalah tersebut.

Dalam pembahasan pembangunan MRT,  Menkoperekonomian menegaskan dukungan penuh terhadap kebijakan pemerintah pusat demi terealisasinya proyek besar yang selama ini mengalami hambatan. Apa pun yang akan dibangun Pemda DKI, pemerintah berharap jangan sampai proyek tersebut terkatung-katung lebih lama.

MRT Jakarta yang direncanakan terdiri dari Koridor Selatan-Utara yaitu Lebak Bulus-Kampung Bandan dan Koridor Timur-Barat masih dikaji pembangunannya. Untuk koridor Selatan-Utara, pembangunannya direncanakan dalam dua tahap. Pertama membentang sepanjang 15,7 kilometer, menghubungkan Lebak Bulus-Bundaran HI dengan 13 stasiun yang terdiri dari tujuh stasiun layang dan enam stasiun bawah tanah.

Pengoperasiannya ditargetkan sekitar akhir 2016. Sedangkan tahap kedua melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI-Kampung Bandan sepanjang 8,1 kilometer, yang ditargetkan beroperasi 2018.

Urgensi pembangunan MRT dilatarbelakangi permasalahan kemacetan di Jakarta. Merujuk data Kementerian Perhubungan 2012 lalu, tiap pagi hari 18 ribu kendaraan masuk ke Jakarta dari Depok, Bogor, Tangerang, serta Bekasi. Keadaan ini diperparah penjualan kendaraan bermotor yang terus mengalami peningkatan tiap tahun. Pertumbuhan penjualan mobil mencapai 12,08 persen dan motor 15,75 persen. Sedangkan penjualan truk tumbuh 8,06 persen serta bis 16,46 persen.

Fakta tersebut, bukan hanya menimbulkan kemacetan, namun menempatkan Jakarta  menjadi kota besar dengan tingkat polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). Penyumbang polutan terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Polutan dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor yang jumlahnya mencapai jutaan unit

MRT Jakarta rencanannya digerakan oleh tenaga listrik sehingga tidak menimbulkan emisi CO2 diperkotaan. Berdasarkan studi tersebut, maka jelas DKI Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal yang lebih andal seperti MRT yang dapat menjadi solusi alternatif dalam masalah transportasi bagi masyarakat yang juga ramah lingkungan.

Membangun sistem jaringan MRT bukanlah semata-mata urusan kelayakan ekonomi dan finansial saja, tetapi lebih dari itu membangun MRT mencerminkan visi sebuah kota. Maraknya isu perubahan iklim telah merubah mindset masyarakat di seluruh dunia untuk menggunakan kendaraan transportasi yang bebas polusi dan aman untuk lingkungan.

Terkait pematangan MRT, yang dirintis sejak 1986 oleh pemerintah. Dalam pertemuan antara Gubernur DKI dengan Menteri Keuangan terlihat jelas, keinginan Pemerintah DKI agar kisaran ongkos tiket MRT Jakarta di bawah Rp 10.000 sekali jalan. Ongkos ini turun dari tarif yang kemungkinan dibebankan mencapai Rp 38.000. Namun, apabila jika ongkos MRT dipatok Rp 10.000 maka beban Pemda untuk memberi subsidi yang diyakini dirinya cukup berat.

Untuk itu, Pemda DKI meminta perubahan komposisi pinjaman dari yang sebelumnya 42 persen hibah pemerintah pusat dan 58 persen pinjaman ditanggung Pemda. Namun, Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan, menganggap komposisi tersebut sudah tepat apalagi pinjaman yang diajukan bersifat lunak. Menkeu memberi syarat DKI untuk menyelesaikan feasibility studies (FS) proyek ini. FS yang sudah ada saat ini, berbeda dengan rencana implementasi.

Tidak adanya titik temu, membuat Menkoperekonomian turun tangan. Hatta menyikapi permasalahan ini dengan membentuk tim antar kementerian yang akan mengkaji keinginan Pemerintah DKI. Kepiawaian Hatta, sebelumnya sudah teruji dalam kemelut rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Awalnya menghadapai kendala, akhirnya disetujui pemerintah melalui revisi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS).

Meski draf revisi Perpres 86/2011 telah di tekan oleh Menkeu dan Menkoperekonomian. Namun, Gubernur Provinsi Banten dan Provisi Lampung merasa keberatan dengan usulan biaya studi kelayakan JSS menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal senada juga disampaikan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikukuh  mengusulkan menggunakan APBN. Dengan asumsi proyek  ini senilai lebih dari Rp 200 triliun.

Menangapi masalah ini, Hatta menilai pembangunan JSS tak bisa menggunakan APBN. Alasannya proyek ini tidak hanya sebatas jembatan semata, tapi menjadikan kawasan disekitarnya menjadi lebih strategis dan mampu merangsang aktivitas ekonomi baru. Pada akhirnya membawa keuntungan pemerintah daerah dan masyarakat sekitar.

Dalam studi kelayakan atau feasibility studies JSS, rencananya dimasukkan studi terhadap daerah mana yang akan dijadikan lokasi pemukiman, perindustrian, teknologi tinggi maupun lokasi wisata. Daerah tersebut, akan menjadi  daerah strategis nasional dan  membentuk empat cluster di daerah Banten. Claster, adalah Cluster Cilegon, Cluster Bojonegara, Cluster Tanjung Lesung, dan Cluster Maja.

Alasan inilah yang mendasari Menkoperekonomian bersikukuh agar realisasi pembangunan jembatan yang nantinya menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, tidak menggunakan APBN. Meski JSS salah satu agenda utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, proyek mercusuar ini sejak awal studi kelayakan pembangunan jembatan sepanjang 30 kilometer ini tidak didesain menggunakan APBN.

Kenyataan ini menunjukan MRT bisa berjalan di tangan Hatta dan dieksekusi Jokowi. Hatta sebelumnya sudah membuktikan kemampuan dalam menggelar megaproyek MP3EI dan JSS, Jokowi yang selama ini dikenal menggutamakan aspirasi masyarakat. Kerjasama ini lah yang penulis harapkan mampu bersinergi dalam mengatasi permasalahan kemacetan yang berimbas pada masalah perekonomian nasional khususnya Jakarta yang mencapai Rp 68 triliun/tahun.

Sumber :

 http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2131-urgensi-pembangunan-mrt.html

Banjir yang melanda kawasan perdagangan di Jakarta Utara dan Jakarta Barat sejak beberapa hari terakhir menimbulkan kerugian yang signifikan. Kerugian tak hanya dirasakan pedagang kelas grosir dan eceran, tetapi langsung memukul para pekerja di level terbawah.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo di Balaikota menegaskan, banjir yang terjadi selama sepekan di Ibu Kota telah menimbulkan kerugian sekitar Rp 20 triliun. Apabila kondisi seperti ini terus dibiarkan, kerugian yang dialami kota ini akan semakin besar. Lebih baik anggaran yang ada dimanfaatkan untuk mengatasi banjir dengan mengalokasikan membuat terowongan.

”Kota seperti Jakarta ini harus punya skenario untuk mengeluarkan air. Terowongan ini sangat diperlukan,” kata Jokowi.

Mesin uang berhenti

Pantauan lapangan di sentra perdagangan Harco Glodok, Lindeteves, Pasar Pagi, Pancoran, Perniagaan, hingga sentra garmen Tambora di Jakarta Barat, yang selama ini dikenal sebagai mesin uang Jakarta, menimbulkan kerugian yang tidak kecil. Total omzet bisnis di kawasan ini bisa mencapai triliunan rupiah, sedangkan potensi kehilangan keuntungan yang bisa diraup para pedagang dalam empat hari tidak sedikit. 

”Di Harco Glodok saja ada sekitar 100 pedagang dengan perputaran uang setiap hari rata-rata mencapai Rp 400 juta per orang. Jadi bisa dihitung berapa kehilangan omzet para pedagang di sini,” kata grosir besar Afand, Selasa (22/1/2013). Afand sendiri sehari-hari menjual komputer, notebook, printer, Galaxy Tab, iPad, dan aksesori komputer.

Sementara pengusaha garmen berbahan kaus di Tambora, Yupiter, mengatakan, selama empat hari usahanya rugi Rp 50 juta. ”Di Tambora ada sekitar 300 usaha garmen yang skalanya sama dengan skala usaha saya. Jadi selama empat hari, total kerugian ke-300 pengusaha itu selama empat hari tidak beroperasi, mencapai Rp 15 miliar,” tutur Yupiter. 

Eksportir garmen Hau membenarkan kerugian itu. ”Saya tidak mau menyebut angka keuntungan atau kerugian. Yang jelas, banyak pesanan dari luar negeri tertunda pengirimannya. Pusing saya. Ongkos angkut pada naik kalau musim banjir begini. Banyak ongkos tak terduga bermunculan,” kata Hau. 

Bisa ditekan

Tutum Rahanta, Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, mengatakan, tutupnya kawasan grosir di Glodok, Mangga Dua, dan sekitarnya memang menyebabkan mandeknya aktivitas ekonomi di kawasan tersebut.

Akan tetapi, karena produk mereka bukan barang konsumsi dan jasa, serta sebagian besar pengusaha di kawasan itu justru melayani pembelian dari luar Jakarta, kerugian bisa ditekan. 

”Mungkin toko tutup karena banjir, tetapi pesanan tetap bisa dilayani. Yang terjadi adalah penundaan transaksi,” katanya.

Namun, Tutum tak menutup kemungkinan ada sebagian masyarakat yang sehari-harinya menggantungkan hidupnya di kawasan itu dan langsung merasakan negatif dampak banjir.

”Dari keseluruhan aktivitas perekonomian di kawasan Glodok, Mangga Dua, dan sekitarnya, mungkin sekitar 20 persennya yang terdampak langsung. Mereka yang terkena dampak langsung itu antara lain penjual nasi dan makanan, tukang parkir, dan kuli angkut. Mereka langsung tidak dapat penghasilan untuk kehidupan sehari-hari,” katanya.

Tutum justru yakin bencana banjir akan memicu pertumbuhan ekonomi. Warga korban banjir maupun yang terdampak membutuhkan banyak hal dalam masa pemulihan pascabanjir.

Demikian juga pemerintah yang akan melaksanakan banyak proyek pembangunan penanggulangan banjir. ”Mulai dari bengkel kendaraan bermotor, bahan-bahan bangunan, dan masih banyak lagi, akan laris sekali. Ekonomi akan tumbuh. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan tidak bermutu,” katanya.
Hal itu disebabkan masyarakat akan mengejar kebutuhan pascabanjir, ada kemungkinan pemenuhan kebutuhan lain yang lebih urgen terabaikan. ”Di mana angkutan umum belum memadai dan jalanan rusak, biaya untuk pengadaan serta perawatan kendaraan bermotor besar. Bisa jadi, biaya untuk konsumsi sehari-hari, pendidikan, dan kesehatan di nomor urut ke sekian,” katanya.

Masalah ini terjadi terus-menerus dan bahkan tahun depan pun kembali terulang. ”Ini lingkaran setan. Begitu banyak uang dipakai untuk penanganan banjir yang terus berulang, tanpa ada lompatan penyelesaian yang signifikan,” katanya. 

Bencana banjir telah berdampak terhadap perekonomian warga. Itu terpantau pada transaksi gadai di kantor pegadaian yang melonjak hampir dua kali lipat. Kondisi itu diperberat lagi dengan kenaikan harga sejumlah bahan makanan yang cukup tinggi. Pegadaian Cabang Jatinegara, contohnya, setelah banjir surut, transaksi gadai di kantor itu langsung melonjak jadi Rp 500 juta hari Senin. Padahal selama banjir, transaksi gadai sempat anjlok menjadi Rp 50 juta per hari dari rata-rata Rp 300 juta per hari. 

Pemimpin Pegadaian Cabang Jatinegara, Henrianto, Selasa (22/1/2013), mengatakan, selama banjir mengepung sejumlah kawasan Jakarta Timur, transaksi gadai di Pegadaian Cabang Jatinegara dan 9 kantor unit yangada di bawahnya anjlok semua. ”Baru pada Senin, setelah banjir surut, transaksi gadai langsung jadi Rp 500 juta,” katanya.

Distribusi terhambat

Sepekan setelah banjir melanda Jakarta, kondisi perdagangan belum pulih. Meskipun ekspedisi barang antarkota dan antarpulau sudah normal, pendistribusian barang sampai saat ini masih terhambat.
Direktur Utama CV Surya Mas Express Hasan di Jakarta mengatakan, ekspedisi barang dari Jakarta ke Surabaya mulai normal pada Senin (21/1).

”Kemarin ada lima truk dengan daya angkut masing-masing enam ton diberangkatkan dari Jakarta ke Surabaya,” katanya.

Menurut Hasan, saat ini tidak ada masalah pengiriman barang dari Jakarta ke Surabaya. Dua hari pasca banjir besar melanda Jakarta, perusahaan ekspedisi mulai beroperasi kembali dan melayani pengiriman barang walaupun kondisi pengiriman belum normal. Perusahaan ekspedisi barang dari Jakarta ke Surabaya itu sempat tidak beroperasi selama dua hari.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia DKI Jakarta Suprayitno, laporan dari para pengusaha, mereka kini tidak lagi menggunakan pasokan stok dari barang di lokasi banjir. Semua stok itu dalam pemeriksaan apakah bisa dipakai atau tidak.

Sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/01/23/kerugian-rp-20-triliun-lebih-akibat-banjir-di-jakarta

Dari sisi ekonomi, musibah banjir mengakibatkan matinya aktivitas ekonomi Jakarta dan sekaligus menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi Jakarta.

Musibah banjir lagi-lagi menyapa penduduk ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta. Musibah banjir yang terjadi pada awal bulan Februari 2007 merupakan musibah banjir yang sangat besar, bahkan lebih besar dari banjir-banjir sebelumnya. Sungguh ironis memang, bukan harta benda yang hilang, bahkan nyawa manusia pun melayang dengan sia-sia. Dari sisi ekonomi, musibah banjir juga mengakibatkan matinya aktivitas ekonomi Jakarta. Aktivitas perdagangan yang bisa mencapai miliaran rupiah dalam sehari, khususnya di daerah pusat perbelanjaan, tiba-tiba hanyut seketika terbawa arus air yang sangat hebat. Sarana dan prasarana publik maupun swasta rusak akibat terpaan air.

Di negara manapun atau di kota manapun di dunia, hujan tetaplah hujan, sama sekali tidak selalu menimbulkan banjir. Hal yang berbeda terjadi di Jakarta, apabila hujan datang, banjir selalu mengancam. Dengan adanya musibah banjir yang selalu terjadi hampir setiap tahun, seharusnya pemerintah lewat Pemda DKI Jakarta, sudah menyiapkan langkah atau program antisipasi bencana banjir sejak dini. Pengalaman banjir seharusnya menjadi pelajaran berharga dan menjadi bahan introspeksi untuk menciptakan DKI Jakarta yang bebas dari musibah banjir.

Dampak Ekonomi

Mengamati sering terjadinya musibah banjir di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta, ada baiknya kita melihat dampak ekonomi akibat bencana yang seringkali terjadi di Indonesia. Thomas Robert Malthus (1766-1834) merupakan salah satu ahli ekonomi klasik yang populer akibat ramalannya yang mengatakan bahwa di masa depan kehidupan akan diwarnai oleh kekurangan pangan atau ketimpangan ekonomi. Hal tersebut didasari oleh pernyataan Malthus, penduduk berkembang dengan laju seperti deret ukur sementara produksi pangan hanya berkembang mengikuti deret hitung. Malthus juga dikenal sebagai ahli ekonomi yang pesimis karena menurut perspektifnya mengenai kelangkaan disebabkan karena adanya non-renewable resources limit.

Ramalan Malthus pada hakekatnya muncul akibat tiga hal, yaitu: pertama, Inggris yang sebelum tahun 1799 mengalami swasembada dalam pangan, mulai tahun 1799 justru mengimpor pangan, sehingga harga pangan di Inggris meningkat sejak tahun 1799. Kedua, dalam masa hidupnya, Malthus mengamati peningkatan jumlah kemiskinan pada kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah, dan ketiga, Malthus terkesan pada ide tokoh anarkisme, William Goldwin, yang mengatakan bahwa karakter manusia bukan merupakan hasil turunan melainkan karena pengaruh lingkungan.

Pada dasarnya, Malthus berfokus pada masalah ketimpangan. Ketimpangan disini diartikan sebagai ketidakstabilan dalam ekonomi, khususnya dalam masalah distribusi pendapatan Dalam kasus Jakarta, musibah banjir yang hampir terjadi setiap tahun dan mencapai puncaknya setiap 5 tahun sekali, dalam sudut pandang ekonomi, dapat menghambat sekaligus memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Betapa tidak, setiap terjadi musibah banjir di Jakarta, banyak sekali sarana dan prasarana publik dan swasta yang rusak sehingga roda perekonomian di ibukota terganggu. Sebaliknya, empati yang ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia maupun dunia internasional dalam bentuk bantuan uang maupun barang dan jasa dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta.

Secara logika, masuknya uang dari luar Jakarta tersebut merupakan capital inflow tersendiri bagi propinsi DKI Jakarta. Secara ilmu ekonomi, masuknya bantuan berupa uang, barang, dan jasa dari luar Jakarta merupakan penerimaan bagi Pemda DKI Jakarta. Berdasarkan hal tersebut, neraca keuangan propinsi DKI Jakarta akan mengalami surplus, khususnya dari sisi penerimaan (bantuan dan hibah). Selain itu, akibat adanya musibah banjir di Jakarta yang seringkali merenggut korban jiwa, secara otomatis dapat mengurangi populasi penduduk Jakarta. Penurunan jumlah penduduk Jakarta merupakan salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi karena dengan menurunnya jumlah penduduk, secara tidak langsung, akan meningkatkan pendapatan perkapita propinsi yang bersangkutan.

Jika dilihat dalam jangka pendek, memang musibah banjir merupakan salah satu faktor penghambat pembangunan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari rusaknya gedung-gedung perkantoran, pabrik, pusat perbelanjaan, dan unit-unit kegiatan ekonomi lainnya, sehingga berimplikasi pada matinya kegiatan ekonomi dalam jangka pendek. Akan tetapi dalam jangka panjang, musibah banjir dapat menjadi salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jakarta. Hal ini cukup beralasan jika, pertama, banyaknya aliran bantuan uang, barang, dan jasa yang masuk ke propinsi yang mengalami musibah, kedua, banyaknya korban jiwa yang berimplikasi langsung pada penurunan jumlah penduduk secara signifikan di propinsi yang mengalami musibah. Berdasarkan alasan tersebut, maka DKI Jakarta, yang sering mengalami musibah banjir, akan menjadi propinsi yang dapat mengalami pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Namun, hal-hal tersebut di atas akan terwujud jika tidak terjadi distorsi dalam proses penyaluran dan penggunaan bantuan bagi masyarakat yang tertimpa musibah.

Musibah banjir memang bukan suatu hal yang kita inginkan karena begitu banyak kepedihan dan duka didalamnya. Akan tetapi, musibah banjir di Jakarta dapat menjadi salah satu stimulus bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu propinsi. Bantuan berupa uang, barang, dan jasa dari luar Jakarta dan luar Indonesia, serta penurunan jumlah penduduk yang cukup signifikan merupakan beberapa faktor yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi suatu propinsi. Malthus menawarkan cara untuk mengatasi terjadinya ketimpangan ekonomi dengan hal-hal yang tidak alamiah, seperti peperangan dan penyebaran penyakit yang mematikan. Sebaliknya, musibah banjir di Jakarta merupakan hal yang alamiah dalam mengatasi terjadinya ketimpangan ekonomi. Secara logis, fenomena yang alamiah lebih baik dibandingkan fenomena yang tidak alamiah. Namun, lebih baik lagi jika ketimpangan ekonomi tidak diatasi dengan peperangan, penyebaran penyakit, atau musibah banjir, melainkan dengan kebijakan-kebijakan yang mampu mengakomodir semua kepentingan dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare), khususnya masyarakat ibukota DKI Jakarta.

Sumber : http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=589

Banjir minggu yang lalu yang melanda dan sempat melumpuhkan Jakarta ada dampak ekonominya yang cukup luas. Dampaknya sampai terasa di Jawa Tengah. Industri tekstil di Pekalongan, misalnya, memasarkan hasil produksinya di, atau lewat, Jakarta. Sopir-sopir truck segan pergi ke Jakarta karena takut kendaraannya akan macet di Jakarta. Maka banjir ini pasti juga menaikkan harga sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Akan tetapi, dampak keseluruhannya kiranyaa tidak akan terlalu besar. Inflasi akan naik, mudah-mudahan kurang dari satu persen. Banjir juga tidak merusak, sampai menghancurkan, bangunan seperti gempa bumi (di Jogja). Banjir di Jakarta juga bukan musibah yang terus menerus. Tetapi, justru oleh karena ibu kota yang terkena, yakni tempat pemerintah dan lokasi pengambilan keputusan, maka pengaruh ekonominya juga akan luas.

Beberapa proyek untuk menghalau dampak buruk juga sempat dikemukakan di media massa, seperti pembuatan banjir kanal (timur dan barat), pembuatan ratusan situ di selatan Jakarta untuk menampung luapan air dari daerah Bogor dan Puncak. Jumlah biaya proyek-proyek demikian sampai trilyunan rupiah, sehingga pelaksanaannya belum bisa dipastikan sekarang, karena keperluan pembangunan ekonomi dan sosial yang juga mendesak (dan sifatnya terus menerus) cukup banyak, seperti di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa. Tetapi, “trauma” dari pengalaman banjir yang baru lalu ini pasti juga menambah desakan atau urgensi sehingga “cicilan” pengeluaran akan diperbesar di waktu yang dekat.

Tetapi, sikap “business as usual” bisa juga menjangkiti para pengambil keputusan. Maklumlah, banjir adalah gejala musiman yang setiap tahun kembali di bulan Januari atau Februari, sehingga penduduk dianggap sudah terbiasa. Banjir besar seperti yang baru lalu ini juga hanya terjadi sekali lima tahun. Maka bisa juga “diputuskan” untuk tidak mengeluarkan uang sampai trilyunan, dan uang itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan pendidikan, serta memperbaiki infrastruktur kampung. Anggaran tambahan yang tidak terlalu besar bisa digunakan untuk memperbaiki selokan-selokan dan sistim drainage kota sehingga genangan air tidak terjadi terlalu lama.

Kalau keperluan tambahan anggaran demikian tokh masih besar maka bisa dipertimbangkan untuk menaikkan pajak. Karena tujuannya adalah memperbaiki keadaan di Jakarta, sehingga tidak bisa disebut proyek nasional, maka pajak demikian harus dikenakan kepada penduduk Jakarta saja. Pajak bisa berupa pajak pendapatan atau pajak atas kekayaan atau harta benda. Yang paling cocok adalah pajak PBB, atas tanah dan bangunan, karena penanggulangan banjir lebih terkait kepada (nilai) tanah dan bangunan.

Karena banjir besar yang lalu sempat mengganggu kehidupan normal penduduk dan penguasa di Jakarta maka bisa menimbulkan suasana “krisis”, yakni sesuatu yang mengancam kehidupan normal. Suasana krisis bisa mempunyai berkah, ia bisa membuka mata lebih lebar dan membuat orang lebih bersedia untuk mengurangi kenyamanan yang biasanya ia nikmati. Suasana atau alam fikiran demikian bisa dipergunakan untuk mendorong tercapainya suatu keputusan yang sampai sekarang terkatung-katung. Hal demikian mungkin penting bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sering dilihat ragu-ragu.

Di lain fihak, kita jangan lupa bahwa banjir besar yang lalu menimpa (hanya) Jakarta. Maka pemerintahan Jakarta yang lebih banyak dilanda “krisis” ini. Tetapi, akibat jelek banir di Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah di DKI saja, akan tetapi memerlukan dukungan dari daerah-daerah sekelilingnya, seperti Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Maka Pemerintah Pusat juga harus turun tangan. Kesempatan demikian bisa dipergunakan untuk menyelesaikan salah suatu kesulitan yang dihadapi pelaksanaan otonomi daerah. Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati sering masih rancu. Kalau bisa diselesaikan untuk DKI maka mungkin bisa dibuat contoh untuk lain tempat.

Banjir di Jakarta ini pasti akan menaikkan tingkat inflasi, walaupun mudah-mudahan hanya sedikit. Dampaknya hanya seketika (once over), akan tetapi sesudah itu masih ada keperluan pengeluaran yang banyak untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dalam hal ini sistim perbankan harus lebih banyak menyumbang daripada pemerintah pusat lewat anggaran belanjanya. Maka Bank Indonesia harus memperhitungkan ini.

Kalau inflasi meningkat maka bisa dibilang tidak adil, karena orang di Sulawesi dan Sumatra harus ikut menanggung beban untuk meringankan derita penduduk di Jawa. Akan tetapi begitulah konsekuensi punya NKRI.

Sumber : http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/banjir_dan_ekonomi.html

;;

By :
Free Blog Templates