Selasa, 20 November 2012

EKONOMI HIJAU (Green Economy) / (B1-01-SS-12)


“Ekonomi Hijau adalah merupakan keniscayaan sebagai solusi dari ancaman kehancuran peradaban yang diakibatkan oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan, termasuk yang termanifestasikan dalam perubahan iklim dan pemanasan global.”
(Prof.Dr.Ir. Gusti Muhammad Hatta, MS)



Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak diimbangi oleh upaya konservasi yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup manusia tampaknya mulai menampilkan dampak negatif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan lingkungan alam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia sendiri. Isu pemanasan global dan perubahan iklim hanyalah sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang tidak hanya bersifat lokal tetapi global. 

Meningkatnya kesadaran terhadap isu lingkungan ini mendorong negara-negara di dunia untuk memikirkan upaya pengimbangan laju ekonomi dengan upaya konservasi lingkungan alam dan melahirkan paradigma ekonomi yang memasukkan aspek lingkungan ke dalamnya, atau yang lebih dikenal sebagai ekonomi hijau. Kebanyakan negara dan pemangku kepentingan meyakini bahwa ekonomi hijau adalah solusi bagi permasalahan ini serta dapat membawa kehidupan dan peradaban global menjadi lebih baik, berkeadilan, sejahtera, dan berkesinambungan.

”Ekonomi hijau” adalah istilah yang licin. Pemaknaannya bisa sangat manipulatif. Implementasinya penuh tipu daya pihak yang lebih kuat.

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai suatu kesatuan dari pertumbuhan ekonomi ”rendah karbon”. Yang dimaksud adalah pertumbuhan yang tidak mengandalkan bahan bakar fosil, penggunaan sumber daya yang efisien dan berkeadilan sosial.

Dari definisi itu, tak sulit menghubungkan gagasan ”ekonomi hijau” dengan isu perdagangan karbon dalam perundingan tahunan Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tentang REDD.
Seperti dikemukakan Larry Lohmann dari lembaga internasional yang mendukung gerakan komunitas untuk keadilan lingkungan dan sosial, The Corner House, ”Sulit untuk tidak mengungkap isu pasar karbon dalam ekonomi hijau.”

Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Konsep ekonomi hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan.

Pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan mengancam kehidupan. Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. Sebut saja, meningkatnya emisi gas rumah kaca, berkurangnya areal hutan serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati. Di samping itu adalah ketimpangan rata-rata pendapatan penduduk negara kaya dengan negara miskin.

Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar. Menjadi jembatan antara pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam. Tentunya konsep ekonomi hijau baru akan membuahkan hasil jika kita mau mengubah perilaku.



* Ekonomi hijau atau solusi apa pun, menurut Siti Maimunah dari Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim, harus memenuhi empat syarat yang saling berkelindan, yakni keamanan manusia, memperhitungkan utang ekologi, hak atas tanah, serta pola produksi dan konsumsi.

* Masalah besarnya, menurut Noer Fauzi Rahman dari Sayogyo Institute, adalah perubahan tata guna lahan yang drastis akibat pemberian konsesi kehutanan, perkebunan, pertambangan untuk perusahaan raksasa.


SUMBER 



0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates