Rabu, 13 Februari 2013
MRT Dari Segi Biaya Yang Akan Dikeluarkn Oleh APBN Dan APBD - Urgensi Pembangunan MRT / (B1-01-SS-12)
Posted by Fathia Nafira Fariz at 05.08Setelah sempat mengalami tarik ulur, akhirnya rencana pembangunan moda transportasi massal berbasis rel yaitu Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta akan segera terwujud. Kepastian ini setelah adanya keseriusan dari Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Racjasa, berjanji untuk memberikan penjaminan terhadap proyek transportasi massal. Keseriusan ini terlihat dengan adanya koordinasi antara Hatta Radjasa dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, untuk membicarakan masalah tersebut.
Dalam pembahasan pembangunan MRT, Menkoperekonomian menegaskan dukungan penuh terhadap kebijakan pemerintah pusat demi terealisasinya proyek besar yang selama ini mengalami hambatan. Apa pun yang akan dibangun Pemda DKI, pemerintah berharap jangan sampai proyek tersebut terkatung-katung lebih lama.
MRT Jakarta yang direncanakan terdiri dari Koridor Selatan-Utara yaitu Lebak Bulus-Kampung Bandan dan Koridor Timur-Barat masih dikaji pembangunannya. Untuk koridor Selatan-Utara, pembangunannya direncanakan dalam dua tahap. Pertama membentang sepanjang 15,7 kilometer, menghubungkan Lebak Bulus-Bundaran HI dengan 13 stasiun yang terdiri dari tujuh stasiun layang dan enam stasiun bawah tanah.
Pengoperasiannya ditargetkan sekitar akhir 2016. Sedangkan tahap kedua melanjutkan jalur Selatan-Utara dari Bundaran HI-Kampung Bandan sepanjang 8,1 kilometer, yang ditargetkan beroperasi 2018.
Urgensi pembangunan MRT dilatarbelakangi permasalahan kemacetan di Jakarta. Merujuk data Kementerian Perhubungan 2012 lalu, tiap pagi hari 18 ribu kendaraan masuk ke Jakarta dari Depok, Bogor, Tangerang, serta Bekasi. Keadaan ini diperparah penjualan kendaraan bermotor yang terus mengalami peningkatan tiap tahun. Pertumbuhan penjualan mobil mencapai 12,08 persen dan motor 15,75 persen. Sedangkan penjualan truk tumbuh 8,06 persen serta bis 16,46 persen.
Fakta tersebut, bukan hanya menimbulkan kemacetan, namun menempatkan Jakarta menjadi kota besar dengan tingkat polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). Penyumbang polutan terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Polutan dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor yang jumlahnya mencapai jutaan unit
MRT Jakarta rencanannya digerakan oleh tenaga listrik sehingga tidak menimbulkan emisi CO2 diperkotaan. Berdasarkan studi tersebut, maka jelas DKI Jakarta sangat membutuhkan angkutan massal yang lebih andal seperti MRT yang dapat menjadi solusi alternatif dalam masalah transportasi bagi masyarakat yang juga ramah lingkungan.
Membangun sistem jaringan MRT bukanlah semata-mata urusan kelayakan ekonomi dan finansial saja, tetapi lebih dari itu membangun MRT mencerminkan visi sebuah kota. Maraknya isu perubahan iklim telah merubah mindset masyarakat di seluruh dunia untuk menggunakan kendaraan transportasi yang bebas polusi dan aman untuk lingkungan.
Terkait pematangan MRT, yang dirintis sejak 1986 oleh pemerintah. Dalam pertemuan antara Gubernur DKI dengan Menteri Keuangan terlihat jelas, keinginan Pemerintah DKI agar kisaran ongkos tiket MRT Jakarta di bawah Rp 10.000 sekali jalan. Ongkos ini turun dari tarif yang kemungkinan dibebankan mencapai Rp 38.000. Namun, apabila jika ongkos MRT dipatok Rp 10.000 maka beban Pemda untuk memberi subsidi yang diyakini dirinya cukup berat.
Untuk itu, Pemda DKI meminta perubahan komposisi pinjaman dari yang sebelumnya 42 persen hibah pemerintah pusat dan 58 persen pinjaman ditanggung Pemda. Namun, Agus Martowardojo selaku Menteri Keuangan, menganggap komposisi tersebut sudah tepat apalagi pinjaman yang diajukan bersifat lunak. Menkeu memberi syarat DKI untuk menyelesaikan feasibility studies (FS) proyek ini. FS yang sudah ada saat ini, berbeda dengan rencana implementasi.
Tidak adanya titik temu, membuat Menkoperekonomian turun tangan. Hatta menyikapi permasalahan ini dengan membentuk tim antar kementerian yang akan mengkaji keinginan Pemerintah DKI. Kepiawaian Hatta, sebelumnya sudah teruji dalam kemelut rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Awalnya menghadapai kendala, akhirnya disetujui pemerintah melalui revisi Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda (KSISS).
Meski draf revisi Perpres 86/2011 telah di tekan oleh Menkeu dan Menkoperekonomian. Namun, Gubernur Provinsi Banten dan Provisi Lampung merasa keberatan dengan usulan biaya studi kelayakan JSS menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal senada juga disampaikan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikukuh mengusulkan menggunakan APBN. Dengan asumsi proyek ini senilai lebih dari Rp 200 triliun.
Menangapi masalah ini, Hatta menilai pembangunan JSS tak bisa menggunakan APBN. Alasannya proyek ini tidak hanya sebatas jembatan semata, tapi menjadikan kawasan disekitarnya menjadi lebih strategis dan mampu merangsang aktivitas ekonomi baru. Pada akhirnya membawa keuntungan pemerintah daerah dan masyarakat sekitar.
Dalam studi kelayakan atau feasibility studies JSS, rencananya dimasukkan studi terhadap daerah mana yang akan dijadikan lokasi pemukiman, perindustrian, teknologi tinggi maupun lokasi wisata. Daerah tersebut, akan menjadi daerah strategis nasional dan membentuk empat cluster di daerah Banten. Claster, adalah Cluster Cilegon, Cluster Bojonegara, Cluster Tanjung Lesung, dan Cluster Maja.
Alasan inilah yang mendasari Menkoperekonomian bersikukuh agar realisasi pembangunan jembatan yang nantinya menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, tidak menggunakan APBN. Meski JSS salah satu agenda utama dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, proyek mercusuar ini sejak awal studi kelayakan pembangunan jembatan sepanjang 30 kilometer ini tidak didesain menggunakan APBN.
Kenyataan ini menunjukan MRT bisa berjalan di tangan Hatta dan dieksekusi Jokowi. Hatta sebelumnya sudah membuktikan kemampuan dalam menggelar megaproyek MP3EI dan JSS, Jokowi yang selama ini dikenal menggutamakan aspirasi masyarakat. Kerjasama ini lah yang penulis harapkan mampu bersinergi dalam mengatasi permasalahan kemacetan yang berimbas pada masalah perekonomian nasional khususnya Jakarta yang mencapai Rp 68 triliun/tahun.
Sumber :
http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/2131-urgensi-pembangunan-mrt.html
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)