Sabtu, 17 Desember 2011
Review Jurnal Ekonomi Koperasi VIII : Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia
Posted by Fathia Nafira Fariz at 02.35JUDUL : Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia
Oleh : Fransisca Mulyono
Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan : sisca@home.unpar.ac.id
Sumber : Jurnal Administrasi Bisnis (2010), Vol.6, No.1: hal. 1–21, (ISSN:0216–1249) 2010 Center for Business Studies. FISIP - Unpar . Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia.
Abstract
Cooperative in Indonesia is an mandated institution as mentioned in Undang-undang Dasar 1945. After 65 years in its development, cooperatives in Indonesia is still not developing well. In other countries cooperatives proved to become successful business organizations. This paper aimed to describe and analyze the causes of underdevelopment of cooperatives in Indonesia.
1. Pendahuluan
Di Indonesia, sudah umum diketahui bahwa komposisi aktivitas kewirausahaan didominasi oleh usaha kecil dan mikro. Jika dilihat dari keseluruhan struktur ekonomi, dari 39,72 juta pengusaha yang saat ini ada, sekitar 39,71 juta atau 99,97% adalah pengusaha mikro, kecil dan menengah (terkenal dengan singkatan UMKM). Lebih jauh, sekitar 98% dari jumlah itu didominasi oleh pengusaha mikro (Heryadi, 2004 : 1). Dalam perjalanan waktu sampai saat ini, UMKM perlu semakin mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah secara khusus karena perannya dalam membangun perekonomian nasional Indonesia adalah semakin besar. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah usaha yang sudah terbukti berhasil dalam mengatasi berbagai krisis. Di Indonesia ketika krisis moneter terjadi di tahun 1997 UMKM terbukti mampu untuk tetap eksis dan berkembang dan menjadi penyelamat perekonomian bangsa berkat kemampuannya memberikan sumbangan yang signifikan kepada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UMKM secara nasional di Indonesia ada 42,4 juta dengan memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp 1.013,5 trilyun (56,7% dari total PDB) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja sebesar 79 juta jiwa (Karsidi, 2005 : 2). Kemampuan bertahan UMKM ini dipertegas oleh Presiden Indonesia : Soesilo B. Yudhoyono mengakui bahwa keberhasilan Indonesia bertahan dari dampak krisis keuangan global yang tengah melanda negara-negara Barat tidak terlepas dari peran koperasi dan UMKM (Koran Jakarta, tt.). Tidak aneh jika beberapa lembaga dunia melihat UKMN sebagai pencipta lapangan kerja (ILO), alat untuk memerangi kemiskinan di negara-negara berkembang (IMF, Bank Dunia dan ADB) (Sadli, 1999).
Kecenderungan kemampuan UMKM memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara tidak saja terjadi di Indonesia dan negara-negara berkembang, namun juga terjadi di negara-negara maju. Di Asia, perkembangan sektor UKM ini juga dilihat sebagai salah suatu jalan keluar dari krisis ekonomi (Sadli : 1999). UMKM Denmark saat ini diakui sebagai salah satu UMKM paling berhasil di Barat yang melakukan proses internasionalisasi melalui outsourcing dengan memperlakukan globalisasi sebagai ajang untuk mendapatkan peluang bukan ancaman (Depperin, 2005).
Agar UMKM bisa semakin memberdayakan diri, maka wadah yang tepat untuknya adalah pasar. Pasar adalah tempat di mana pembeli dan penjual bertemu dan melakukan tawar menawae atas barang dan jasa (Fry et.al., 2001 : 178). Pemahaman tentang pasar ini boleh dikatakan sama dengan definisi pasar berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia no. 420/MPP/Kep/10/1997 (selanjutnya disingkat sebagai Kepmenindag no. 420/MPP/Kep/10/1997) tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, Bagian II tentang Pengertian ayat (1).
2. Kasus Pasar Tradisional
2.
Pasar dalam tulisan ini adalah pasar fisik di mana pembeli dan penjual bertemu secara langsung
bukan pasar visual di mana proses jual beli dilakukan melalui internet dan tanpa ada tatap muka secara langsung antara pembeli dan penjual. Berdasarkan Lampiran Kepmenindag no. 420/MPP/Kep/10/1997 bagian II tentang Pengertian, pasal 1, pasar bisa digolongken ke dalam dua kategori berdasarkan kela mutu pelayanannya, yaitu (1) pasar tradisional dan (2) pasar modern. Menurut Pasal 2 dari Lampiran yang sama dijelaskan tentang pasar tradisional, yaitu pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dna tenda yang dimiliki/dikelola oleh Pedagang Kecil dan Menengah dan Koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui rawar-menawar.
Menurut Pasal 3 dari Lampiran yang sama, dijelaskan tentang Pasar Modern adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau Koperasi yang dalam bentuknya berupa Mal, Supermarket, Department Store, dan Shopping Centre di mana pengelolaanya dilaksanakan secara modern, dan mengutamakan pelayanan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti.
Menurut Wahyudi dan Ahmadi yang dikutip oleh Paskarina (2007 : 10), pasar secara sosiologis dan kultural memiliki makna filosofis sebagai arena jual beli produk dan juga tempat pertemuan warga untuk berinteraksi sosial atau melakukan diskusi formal atas permasalahan kota. Artinya, melalui interaksi yang terjalin antara penjual dan pembeli, pembeli dengan pembeli, atau penjual dengan penjual, maka sebuah hubungan bisnis bisa terjalin dengan baik. Bahkan hubungan ini bisa berlanjut menjadi hubungan sosial yang dalam yang pada akhirnya akan membuat loyalitas konsumen menjadi tinggi untuk pedagang yang mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan konsumennya.
Makna filosofis di atas tampak hanya ada pada pasar tradisional, karena melalui tawar menawarlah hubungan bisnis dan sosial terjadi. Sementara pada pasar modern, makna filosofis ini tidak terjadi karena tidak ada unteraksi sosial antara pembeli dan penjual. Hal ini disebabkan adanya sistem self-service pada pasar modern di mana pembeli melayani dirinya sendiri tanpa dibantu karyawan toko dalam berbelanja.
Dengan makna filosofis tersebut, maka keberadaan pasar tradisional menjadi semakin penting untuk dipeliharaa keberadannya agar hubungan sosial yang terjalin bisa dikembangkan lebih luas lagi yang diharapkan akan semakin memperbesar usaha yang telah ada. Hal ini dikarenakan bila seorang konsumen yang merasa puas dengan seorang penjual, maka tanpa diminta penjual tersebut, pembeli itu akan dengan sendirinya menyebarkan nformasi yang baik tentang penjual tersebut. Informasi yang baik ini umumnya akan menarik para pendengarnya untuk mencoba berbelanja kepada penjual tersebut, sehingga penjual tersebut akhirnya akan mendapatkan pembeli yang lebih banyak tanpa upaya promosi apapun. Dalam manajeme pemasaran hal ini dikenal sebagai word-of-mouth, alat promosi gratis tetapi efektif dalam meningkatkan jumlah pembeli dan pembelian.
Kenyataan memperlihatkan bahwa keberadaan pasar modern di manapun di Indonesia menjadi ”hantu di siang ”bolong bagi para pedagang di pasar tradisional, karena dengan permodalannya yang kuat (yang mampu berbelanja langsung ke para produsen berdasarkan skala ekonominya yang besar yang akhirnya mampu menerapkan harga jual yang lebih murah daripada pasar tradisional) yang didukung dengan kenyamanan berbelanja, membuat para konsumen pasar tradisional beralih berbelanja di pasar modern. Menurut Suhito yang dikutip Paskarina (2007 : 6), berdasarkan hasil peneltian AC. Nielsen diketahui bahwa kontribusi penjualan pasar tradisional terus merosot. Pada tahun 2002, dominasi penjualan di pasar tradisional bisa mencapai 75%, sementara tahun 2006 hanya menjadi 70%.
Penurunan tingkat penjualan para pedagang tradisional di atas juga dikarenakan oleh kurangnya penertiban zonasi paasr modern terhadap pasar tradisional. Tujuan diterapkannya zonasi (adalah penentuan batas jarak fisik keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional) oleh Perda guna melindungi eksistensi pasar tradisional. Tetapi dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Di Jakarta dalam Perda no. 2 tahun 2002 tentang Pengaturan Jarak Pasar Modern dan Tradisional diatur jarak pasar modern minimal 2,5 km dari pasar tradisional, tetapi kenyataan berbicara lain. Di Jakarta Timur, ada Carrefour Hypermarket (sebuah tempat berbelanja yang mampu menetapkan harga yang lebih murah daripada pasar tradisional dan bahkan pasar modern lainnya yang berskala lebih kecil, juga menjual variasi barang yang banyak sekali selain kenyamanan berbelanja, bahkan menjual hewan kurban saat hari Raya Kurban mendekat) yang berlokasi hanya sekitar 500 meter dari PD. Pasar Jaya. Di Depok, usaha grosir seorang pedagang menurun dengan drastis ketika sebuah perkulakan didirikan tidak jauh dari tempatnya berjualan. Omzet penjualan usaha grosir ini tadinya berkisar Rp. 10 juta - Rp. 12 juta per hari, setelah ada perkulakan tersebut, omzetnya tinggal Rp. 1 juta - Rp. 1,5 juta per hari (Mathari, 2009). Di Bandung para pedagang pasar tradisional juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat lagi, karena pesaingnya bukan hanya pasar modern yang lokasinya berdekatan dengan mereka, tetapi juga dari Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat sebagai PKL) yang diperbolehkan berjualan di sekitar pasar mereka (Asep, 2009).
Selain kesulitan bersaing dengan pasar modern dan PKL, para pedagang pasar tradisional juga masih harus menghadapi masalah lainnya yang juga tidak kalah berat, yaitu penebusan kiosnya yang lama dengan harga tinggi ketika terjadi revitalisasi pasar oleh investor. Sering terjadi banyak pedagang di pasar tradisional yang direvitalisasi akhirnya tersingkir karena tidak mampu membeli kiosnya yang tidak terjangkau.
Banyak tudingan diarahkan kepada pemerintah daerah atas terpuruknya eksistensi pasar tradisional. Menurut penulis, tudingan itu sebagian ada benarnya, tetapi sebagian tidak benar. Bukan rahasia lagi jika sejak diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah harus benar-benar menghidupi dirinya sendiri karena dana dari pusat tidak mencukupi untuk membangun daerahnya. Kasus banyaknya perda yang dicabut karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya merupkan salah satu contoh. Niat baik pemerintah daerah untuk merevitalisasi pasar yang kumuh, tidak nyaman dan semrawut agar menjadi lebih baik kontribusinya bagi pembangunan daerah, tetapi tidak didukung oleh dana, sehingga akhirnya pemerintah daerah mengundang investor. Dengan situasi seperti ini, maka harus ada trade-off : pasar tradisional menjadi lebih cantik dan diharapkan bisa lebih kuat menghadapi persaingan dari pasar modern, tetapi di sisi lain ada korban : banyak pedagang di pasar tradisionalnya akhirnya tersingkir. Kondisi seperti ini dipahami oleh Menteri Koperasi Suryadharma Ali yang menyatakan bahwa keberadaan pasar modern merupakan dilema bagi pemerintahan kota atau kabupaten, karena di satu sisi keberadaan pasar modern dalam kenyataan- nya menghambat pertumbuhan pasar tradisional, sementara di sisi lain merupakan indikator dari kemajuan kota atau kabupaten tersebut (Kementrian Negara Koperasi dan UKM : 2009). Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya Kementrian Negara Koperasi dan UKM memiliki program pemberdayaan pasar tradisional yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melakukan renovasi dan pembangunan pasar untuk meningkatkan peran UKM dan koperasi pasar (Laporan akhir, tt : 1-1), tetapi tidak mungkin dana yang tersedia dan terbatas bisa menjangkau seluruh pasar tradisional di seluruh Indonesia. Pasti terjadi antrian untuk mendapatkan dana tersebut. Waktu yang lama untuk mengantri dana tersebut bisa menghambat pembangunan daerah.
Trade-off ini menurut penulis amat terpaksa dilakukan karena keberadaan pasar tradisional adalah penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kota Bandung bisa diperoleh dari retribusi pasar, ketertiban di pasar, fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB). Sebagai contoh, di tahun 2005, Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung mencapai Rp. 5 Milyar lebih sementara targetnya sendiri yang berasal dari pasar tradisional adalah sebesar Rp. 4,6 Milyar (Paskarina et.al., 2007 : 6). Jadi peran pasar tradisional dalam menunjang PAD adalah sangat tinggi.
Permasalahan adanya perbedaan target dan realisasi PAD yang berasal dari kontribusi pasar tradisional dengan Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung di atas sebenarnya bisa diseimbangkan dengan lebih baik, bahkan target bisa dilebihkan dan melebihi realisasinya, karena selama ini pembinaan para pedagang pasar tradisional masih belum optimal. Sebagai contoh, Kuncoro (2008 : 9) menyatakan bahwa kesadaran pedagang pasar tradisional dalam membayar retribusi masih kurang. Artinya dengan adanya pembinaan yang lebih baik kepada para pedagang pasar tradisional, maka pembayaran retribusi bisa semakin meningkat. Fakta bahwa masih rendahnya para pedagang pasar tradisional membayar retribusi pasar perlu dipertanyakan mengapa bisa demikian dan digali lebih mendalam mengapa bisa terjadi. Hal ini perlu dilakukan demi mengembangkan pasar tradisional yang perlu dilestarikan.
Eksistensi pasar tradisional harus diberdayakan, karena ia memiliki beberapa nilai strategis, yaitu :
1. berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan Biro Pusat Statistika (BPS) tahun 2006, di Indonesia terdapat 10 juta pedagang ritel tradisional (Kuncoro, ibid : 18).
2. masih menurut Kuncoro, jumlah kunjungan konsumen ke pasar tradisional di Indonesia adalah sebanyak 25 kali dalam per bulan, hanya dikalahkan oleh Vietnam yang jumlah kunjungan sebanyak 29 kali per bulan. Bandingkan dengan India dan Srilanka yang jumlah kunjungan konsumen hanya sebanyak 11 kali per bulan, dan Philipina hanya sebesar 14 kali per bulan. Menurut penulis, banyaknya jumlah kunjungan ini memperlihatkan kalau pembeli pasar tradisional yang hampir setiap hari datang ke pasar tradisional adalah untuk mencari ”kesegaran” dari sayuran atau buah-buahan. Berdasarkan pengamatan penulis di Bandung, orang-orang kaya sekalipun yang tinggal di perumahan mewah tetap cukup sering berbelanja di pasar.
3. Kesegaran sayuran atau buah yang dijual di pasar tradisional merupakan kelebihan pasar tradisional dibandingkan pasar modern dan perlu dipertahankan. Justru dikarenakan kurangnya fasilitas pengawet sayuran dan buah tidak seperti di pasar modern tingkat kesegaran sayur secara khusus dan buah menjadi menjadi sangat tinggi. Sayur yang dijual di pasar tradisional hanya bertahan kurang dari satu hari. Jadi ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, tingkat kesegaran sayurnya bisa dijamin tinggi. Di pasar modern yang dikarenakan adanya fasilitas pendingin sayur dan sebagian buah membuat pembeli tidak mengetahui dengan pasti tingkat kesegaran sayur dan buah yang dibelinya.
4. sebagaimana telah diuraikan di atas, pasar tradisional memiliki makna filosofis yang tetap menghidupkan tali silaturahmi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kerukunannya. Jika pasar tradisional hilang, maka interaksi sosial antara satu orang dengan yang lainnya akhirnya akan berkurang dan menurut penulis hal ini berbahaya bagi Indonesia, karena kondisi seperti ini akan menghasilkan generasi-generasi individualis yang egois dan tidak peka terhadap situasi dan kondisi sesamanya. Indonesia berasaskan Pancasila, maka hal tersebut tidak boleh terjadi dan muncul di bumi Indonesia (penciptaan generasi-generasi individualis sudah mulai tampak melalui sistem pendidikan saat ini di tingkat dasar yang begitu berat membebani anak-anak sekolah dasar yang akhirnya tidak memilki kesempatan untuk menikmati masa kecilnya yang wajar. Beberapa pengamatan menunjukkan cukup banyak anak sekolag dasar kebalan penulis yang perilakunya sering menunjukkan perilaku stres, yaitu sering marah pada orang tuanya, terutama jika pekerjaan rumahnya agak sulit atau membaca teks yang agak panjang).
5. Lokasi pasar tradisional adalah relatif lebih dekat dengan pemukiman konsumen, karena lokasi keberadaan pasar tradisional tidak diatur secara ketat seperti pasar modern. Pasar tradisional boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan (Kuncoro, 2008 : 14). Di satu daerah di kawasan Bandung Utara di lingkungan sebuah perumahan elit setiap pagi bisa dijumpai beberapa mobil bak terbuka yang berjualan sayur dan buah di sebuah lahan sempit sebagaimana layaknya pasar tradisional dan para pembelinya berdatangan dari sekitar perumahan tersebut menggunakan mobil. Ketika siang hari kita melewati jalan yang sama, kita tidak akan tahu kalau pagi harinya di lokasi tersebut ada ”pasar tradisional”.
6. tidak ada ketentuan berapa luas sebuah pasar tradisional, tidak sebagaimana diatur untuk pasar modern (lihat kuncoro, ibid). Dari point (5) di atas terlihat bahwa ketika dirasakan ada sebuah ruang walaupun kecil bisa digunakan untuk berjualan sayur, maka terciptalah sebuah pasar tradisional.
7. pasar tradisional memiliki kontribusi dalam penciptaan PAD sebuah daerah untuk mandiri dari pemerintah pusat dalam masalah ekonomi guna membangun daerahnya.
Melihat nilai strategis pasar tradisional di atas, sudah tidak terbantahkan lagi kalau eksistensinya perlu dipertahankan.Tetapi kondisi para pedagang di pasar tradisional yang sudah bergabung dalam sebuah kelompok, dalam hal ini adalah koperasi, tetap saja mudah dipatahkan. Hal ini diperlihatkan oleh kasus koperasi pasar di beberapa pasar tradisional Kota Bandung yang merasa disingkirkan karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang baru (Paskarina, et.al, 2007 : 2). Kondisi ini memperlihatkan betapa posisi koperasi pasar sangatlah lemah, sehingga tidak mampu untuk memiliki bargaining power yang tinggi menghadapi pihak eksternal koperasi pasar yang mengakibatkan ketidakberdayaan koperasi pasar dalam membela para anggotanya.
Selain itu berdasarkan pengamatan dan berita di media masa terlihat bahwa pada dasarnya UMKM yang menjadi pembentuk koperasi selalu memiliki 2 masalah klise yang terus terjadi sampai sekarang :
1. mereka mengeluh kekurangan modal.
2. mereka juga mengeluh tidak mampu memasarkan barangnya.
Masalah kekurangan modal memang seringkali menjadi penghambat utama untuk memulai sebuah usaha yang mandiri. Tetapi dengan dibentuknya koperasi primer, maka kesulitan akan modal ini bisa semakin diatasi. Misalnya melalui pembentukan koperasi konsumsi sebagai langkah awal yang diharapkan bisa memiliki sisa hasil usaha untuk dijadikan modal dalam bidang usaha lainnya. Kreativitas berfikir bisa digunakan untuk mengatasi masalah permodalan. Hanya yang menjadi masalah adalah karena kurangnya tingkat pendidikan, maka kreativitas ini menjadi kurang pula.
Untuk itu, untuk sementara masih diperlukan bantuan dunia pendidikan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menjadi pendamping para UMKM dan koperasi dalam mengelola usahanya.
Tentang masalah ketidakmampuan mereka memasarkan barangnya, ada pengalaman penulis dan teman-teman di sebuah desa di Garut berusaha untuk membina pengembangan para ibu rumah tangga di sana yang bisa membuat berbagai macam kripik. Tetapi pimpinan mereka secara tegas menyatakan bahwa kebutuhan mereka dari kami adalah memasarkan keripiknya. Jadi dalam hal ini terlihat adanya ketidakpercayaan diri para UMKM ini dalam memperjuangkan nasibnya sendiri. Agar koperasi dan para UMKM mampu mandiri, maka perlu adanya pengarahan dari pemerintah, LSM, usaha besar dan dunia pendidikan yang memberdayakan koperasi untuk memancing ikan sendiri, bukan lagi mengharapkan pemberian ikan dari berbagai pihak.
3. Koperasi : Pemberdaya UMKM
3.
Koperasi tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia lainnya juga Misalnya di Jerman koperasi sudah dikenal sejak tahun 1864 dengan dibentuknya koperasi kredit pertama oleh Friedrich Raiffeisen, bapak koperasi Jerman. Di Inggris dan Amerika Serikat, koperasi perumahan juga telah dikenal sejak tahun 1800an yang dibentuk oleh Robert Owen, salah satu pelopor manajemen.
Menurut Undang-undang no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disingkat menjadi UU no. 25 tahun 1992) Pasal 1 ayat (1) Koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam Pasal 2, Koperasi di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 1945 adalah lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak berkemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono, 2003).
Ide dasar filosofis koperasi adalah kerja sama (cooperation dalam bahasa Inggris, coopertie dalam bahasa Belanda atau coopere dalam bahasa Latin), sementara landasan prinsip-prinsip koperasi Menurut Ima Suwandi yang dikutip oleh Soesilo (tanpa tahun : 2) adalah solidaritas, demokrasi, kemerdekaan, altruisme (sikap memperhatikan kepentingan orang lain selain kepentingan diri sendiri) keadilan, keadaaan perekonomian negara dan peningkatan kesejahteraan. Di Indonesia prinsip-prinsip koperasi dituangkan dalam UU no. 25 tahun 1992 Pasal 5 ayat (1) :
1. Keanggotaannya bersifat sukarela dan terbuka, artinya siapapun bisa menjadi anggota koperasi sepanjang memiliki kebutuhan yang sama. Jadi tidak boleh ada diskriminasi dalam masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya dalam koperasi.
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis. Demokrasi ditunjukan melalui pemilihan pengurus (manajer) melalui kesepakatan para anggota yang masing-masing memiliki satu suara. Demikian juga dengan pembuatan keputusan yang dilakukan dalam Rapat Anggota yang dihadiri oleh seluruh anggota koperasi (lihat UU no. 25 tahun 1992 Pasal 23).
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, artinya, siapapun dalam koperasi tidak ada yang diperlakukan tidak adil dalam pembagian sisa hasil usaha (jika ada), karena pembagian tersebut dilakukan sesuai kontribusi setiap anggota. Ketika seorang anggota koperasi konsumsi berbelanja dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan anggota lainnya, maka ia berhak untuk mendapatkan porsi yang lebih besar dari sisa hasil usaha yang ada sesuai dengan kontribusinya kepada koperasi melalui pembelian barang yang lebih banyak.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, yaitu bahwa dikarenakan koperasi adalah kumpulan orang, bukan modal, maka mereka yang memiliki kekayaan lebih tidak akan bisa menguasai mereka yang kekayaannya lebih sedikit. Setiap anggota koperasi tidak perduli kekayaannya memiliki kedudukan yang setara, yaitu satu suara. Dengan hal ini maka demokratisasi bisa dipertahankan dalam koperasi.
5. Kemandirian, maksudnya adalah bahwa koperasi tidak bergantung kepada siapapun dalam hal apapun, termasuk kepada pemerintah, karena prinsip koperasi adalah dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota. Dengan kata lain koperasi adalah self-help organization. Di Indonesia, karena tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi dan masih rendahnya tingkat pendidikan menjadikan banyak UMKM menjadi tidak berdaya dalam menghadapi persaingan dari pihak lain, apakah sesama UMKM maupun dari pihak di luar UMKM. Sementara dalam ayat (2) dinyatakan prinsip lain, yaitu :
1. pendidikan koperasi.
2. Kerjasama koperasi. Dalam Penjelasan atas UU no. 25 tahun 1992 dinyatakan
bahwa kerjasama dapat dilakukan antar koperasi di tingkat lokal, regional, nasional da internasional.
Dengan adanya pasal ini, setiap koperasi memiliki peluang yang tinggi untuk bekerja sama dengan siapapun. Prinsip-prinsip koperasi Indonesia ini adalah prinsip yang baik, di mana di dalamnya mengutamakan kebersamaan antara anggota koperasi yang satu dengan yang lainnya demi pencapaian tujuan bersama, tanpa perlu adanya konflik dan persaingan tidak sehat di antara mereka. Dengan demikian bila prinsip-prinsip ini dupahami dengan baik oleh seluruh anggota koperasi, maka diharapkan pencapaian tujuan koperasi bisa diraih dengan baik tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya asli Indonesia, yaitu kekeluargaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
4. Perbedaan Koperasi dengan Badan Usaha Non Koperasi
Menurut Soesilo (tt : 11) ada beberapa perbedaan mendasar antara koperasi dengan badan usaha non koperasi, yaitu :
1. koperasi adalah kumpulan orang bukan kumpulan modal sebagaimana perusahaan non koperasi.
2. dalam badan usaha non koperasi, suara ditentukan oleh besarnya jumlah kepemilikan saham atau modal, sementara dalam koperasi setiap anggota memiliki jumlah suara yang sana yaitu satu orang anggota memiliki satu suara dan tidak bisa diwakilkan.
3. anggota koperasi adalah pemiliki sekaligus pelanggan, sehingga kegiatan usaha koperasi harus sesuai dan berkaitan dengan kebutuhan ekonomi anggotanya. Pada badan usaha non koperasi, pemegang saham tidak harus menjadi pelanggan. Badan usahanyapun tidak harus melayani kepentingan ekonomi pemegang saham. Sesuai dengan tujuan koperasi, yaitu melayani kebutuhan anggotanya karena pendirian koperasi didasarkan kepada kebutuhan para anggotanya yang sama maka bidang usaha koperasi akan sama dengan kebutuhan para anggotanya. Misalnya jika nelayan di sebuah desa membentuk koperasi dengan kebutuhan untuk mengembangkan pemasaran ikannya, maka koperasi yang tepat untuk dibentuk adalah koperasi nelayan. Tetapi jika para nelayan itu memiliki kebutuhan memperoleh kebutuhan dapurnya dengan harga murah, maka mereka bisa membentuk koperasi konsumsi yang melayani semua kebutuhan dapur anggotanya. Dalam badan usaha bisnis, kebutuhan pemilik dalam bidang apapun tidak harus dilayani oleh badan usahanya. Tujuan dibentuknya badan usaha bisnis adalah mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemilik modal melalui usaha apapun yang bisa saja tidak dipahami oleh pemilik modal, asalkan pengelolanya (manajer) mampu menjalankan badan usaha tersebut dengan baik.
4. tujuan badan usaha non koperasi adalah mendapatkan keuntungan setinggi mungkin, sementara koperasi memberikan manfaat pelayanan ekonomi yang sebaik-baiknya kepada anggota.
5. anggota koperasi mendapatkan bagian sisa hasil usaha yang sebanding dengan besarnya transaksi usaha masing-masing anggota kepada koperasinya, sementara pemegang saham pada badan usaha non koperasi memperoleh bagian keuntungan sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Pembagian sisa hasil usaha dalam koperasi ditentukan berdasarkan kontribusi para anggota.
5. Penerapan Konsep-konsep Bisnis oleh Koperasi
Sejarah menunjukkan kalau keberhasilan sebuah koperasi dalam memberikan manfaat pekayanan ekonomi sebaik mungki kepada anggota-anggotanya ditentukan oleh penerapan konsep-konsep bisnis. Koperasi di negara-negara maju banyak memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian negaranya. Dalam industri anggur, tercatat bahwa 30% anggur produksi Jerman dihasilkan oleh koperasi, tetapi Italia terbukti memiliki koperasi yang paling kuat karena 50% produksi anggurnya dikontrol oleh lebih 600 koperasi. Para petani anggur mau bergabung dalam koperasi karena pemasaran produknya menjadi lebih mudah. Koperasi terbesar di Itali adalah pihak yang mengemas anggurnya dalam tetra pack pertama kali di dunia berkat riset dan inovasinya (India Wine Academy, 2008).
Koperasi di Denmark yang dianggap merupakan koperasi paling berhasil di Eropa dalam upayanya go international ditunjang oleh konsep outsourcing yang tidak lain merupakan konsep bisnis.
Di Taiwan koperasi melakukan kerja sama dalam membangun jaringan yang dikenal dengan cooperative exchange program, yaitu program kerja sama antar koperasi dalam berbagai informasi dan pengalaman secara multi sektoral (Dipta, tt). Artinya jenis koperasi yang satu bisa bekerja sama dengan satu jenis atau lebih koperasi lainnya. Misal, sebuah koperasi konsumsi bisa bekerja sama dengan sebuah koperasi simpan pinjam dan koperasi pertanian. Kerja sama ini dilakukan dalam rangka mendapatkan barang pertanian dengan harga murah dan juga modal untuk keperluan usahanya.
Koperasi-koperasi yang sukses ini tidak bisa tidak dikarenakan penguasaan manajemen usaha yang baik oleh para pengurus dan anggotanya, termasuk manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia, manajemen keuangan dan manajemen produksi, termasuk implementasi balanced Scorecard untuk mengkuantifikasikan semuanya dalam sebuah matriks. Artinya, agar berhasil, koperasi mau tidak mau harus menguasai konsep-konsep nisnis, karena para pesaingnya, apakah koperasi dan non koperasi, yang semakin banyak menggunakan konsep-konsep bisnis.
Koperasi di Indonesia pada dasarnya juga sudah menggunakan konsep-konsep bisnis, walaupun diperkenalkan oleh pemerintah melalui pembinaannya (Tjakrawer- daja : 2009) :
1. Adanya pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang Produksi dan Pengolahan, Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi. Pembinaan ini berkaitan dengan fungsi manajemen dalam dunia bisnis yang berorientasikan kepada manufaktur.
2. Adanya bidang Produksi dan Pengolahan yang meliputi peningkatan kemampuan teknis tersebut, yakni peningkatan kemampuan rancang bangun, kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi.
3. Adanya bidang Pemasaran yang meliputi promosi, kemitraan, kontak bisnis, pameran, pengembangan jaringan distribusi dan promosi pasar.
4. Adanya bidang Sumber Daya Manusia meliputi gerakan kewirausahaan nasional, pembudayaan dan pelembagaan kewirausahaan, disamping kegiatan diklat, magang, studi banding dan pembentukan pusat pengembangan usaha kecik (PPUK) serta adanya klinik usaha.
5. Dalam bidang Teknologi meliputi pengembangan pusat informasi usaha, pengembangan jaringan kerja antar berbagai riset teknologi, termasuk kemudahan kredit bagi rehabilitasi/renovasi teknologi serta kegiatan inkubator bisnis.
Walaupun sudah diperkenalkan penerapan konsep-konsep bisnis oleh pemerintah secara khusus, koperasi di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari harapan. Menurut Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia, Adi Sasono, pada tahun 2007 ada sekitar 138.000 koperasi di seluruh Indonesia, tetapi 30% diantaranya belum aktif. Penyebabnya antara lain : (1) dikarena kekurangan modal akibat kenaikan harga BBM di tahun 2004, dan (2) pemerintah dirasakan kurang membina koperasi melalui peraturan yang tidak mendukung pengembangan koperasi (Kompascetak.com, 2007). Dengan kondisi seperti ini maka adalah sulit untuk mengembangkan koperasi yang mampu menyaingi usaha bisnis (non koperasi). Padahal situasi global saat ini dan mendatang memiliki implikasi yang bisa mempersempit ruang gerak koperasi, diantaranya adalah :
1. Kompetisi yang semakin meningkat. Globalisasi membuat dunia menjadi semakin sempit dikarenakan teknologi internet. Sehingga karenanya pertukaran informasipun, baik dalam dunia bisnis, dunia politik, budaya dan sosial, menjadi jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Perubahan hampir dalam segala aspek kehidupan manusia yang terjadi begitu cepat, terutama dalam perilaku konsumen, membuat kompetisi dalam dunia bisnis menjadi semakin tinggi.
2. Semakin meningkatnya power dari perusahaan bisnis. Saat ini semakin banyak perusahaan bisnis yang mampu memiliki power yang begitu besar, bahkan melebihi power dari negara, biasa dikenal dengan corporate power.
3. Adanya peluang-peluang baru dalam disinvestasi. Saat ini banyak investasi yang dilakukan bukan berupa finansial, tetapi dalam bentuk lainnya, misalnya kerja sama antar koperasi (cooperative exchange program) yang mampu saling memberdayakan koperasi atau program lainnya seperti ”program bapak angkat” yang dilakukan antara usaha besar dengan usaha kecil.
4. Semakin cepatnya pasar berubah. Perilaku pasar yang begitu cepat berubah harus mampu diantisipasi oleh koperasi jika tidak ingin tertinggal kereta persaingan. Pihak yang menang adalah pihak yang mampu mengadaptasikan dirinya dengan cepat terhadap perubahan yang sedang terjadi.
5. Terjadi perubahan yang cepat dalam dunia bisnis dan kehidupan sosial maupun politik. Perubahan ini perlu direspon dengan cepat agar koperasi tidak ketinggalan kereta.
6. Semakin pentingnya inovasi dalam berbagai sektor. Inovasi membuat manusia menjadi manja terhadap hidupnya. Semua menjadi mudah dilakukan, tidak seperti beberapa dekade sebelumnya. Karena kenyamanan dalam hidup ini, maka siapapun dituntut untuk menjadi lebih inovatif, termasuk koperasi.
Menurut Sharma (tt), ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kegagalan koperasi :
1. adanya perbedaan ideologi dalam penetapan tujuan.
2. manajemen yang kurang profesional.
3. governance yang kurang baik.
4. kurangnya partisipasi dari para anggota.
5. penerapan strategi yang kurang tepat.
6. terlalu banyak kontrol legislatif.
6. Profesionalisme Dalam Koperasi
Agar pengelolaan koperasi bisa dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu bersaing dengan badan usaha sejenis maupun non koperasi, baik berskala lebih kecil maupun lebih besar, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional, maka koperasi sebaiknya memiliki profesionalisme yang tinggi (Sharma, tt) :
1. Pada level organisasi :
− Visi.
Sesuai dengan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 3, visi koperasi di Indonesia sudah jelas, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatnana perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
− Misi.
Berdasarkan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 4, terdapat beberapa misi koperasi Indonesia, yaitu : ”Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya,
”Berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
− Tujuan.
Berdasarkan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 4, terdapat beberapa misi koperasi Indonesia, yaitu : Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya,
− Sasaran.
Mengembangkan koperasi yang sudah eksis agar mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya maupun masyarakat di sekitarnya. Menjalin kerja sama antar koperasi, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional sebagaimana diamanatkan dalam Penjelasan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 5 ayat (2).Kerja sama yang bisa dilakukan koperasi juga bisa dilakukan dengan badan usaha non koperasi, terutama dengan usaha bisnis berskala besar guna memperoleh keuntungan yang simbiosis mutualistis.
− Budaya.
Mampu menciptakan budaya koperasi yang bisa berbeda tergantung dari bentuk koperasi dan lokasi koperasi adalah penting, karena budaya organisasi adalah pembentuk perilaku seluruh orang yang ada dalam koperasi. Dengan demikian perilaku yang ada lebih relatif seragam untuk mencapai tujuan bersama.
2. Pada level manajemen :
− corporative governance, adalah penyajian sistem manajemen yang demokratis ketika pelaksanaan otoritas berasal dari keanggotaan koperasi.
− Memperkuat sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang ada dalam koperasi, yaitu para anggota koperasi, perlu diberdayakan dalam masalah pemahaman akan kepentingan bersama.
− Kepercayaan dan dedikasi dari pemimpin. Ketika pimpinan memberikan kepercayaan kepada bawahannya untuk melakukan pekerjaannya, tanpa perlu melakukan banyak kontrol, maka bawahan tersebut akan melakukan pekerjaannya dengan baik sekali karena merasa dipercaya (trusted).
− Harmonisasi pada semua level organisasi. Harmonisasi memiliki makna adanya keseimbangandi semua level organisasi, dalam hal ini koperasi, dalam hal perencanaan akan apa yang akan dituju, implementasi atas apa yang telah ditentukan dan pengawasan atas apa yang telah dicapai dengan tetap berlandaskan kepada visi dan misi yang telah ada dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga..
− Penerapan teknologi. Penerapan teknologi tergantung kepada jenis atau bentuk koperasi yang ada, tetapi paling tidak koperasi berbentuk apapun dalam saat ini wajib memiliki tenaga yang mampu menguasai informasi teknologi, misalnya dalam hal pengemasan informasi koperasi dengan bagus untuk digunakan oleh usernya, kemampuan menaftaankan web, internet dan chatting, juga kemampuan menggunakan social media yang bisa menurunkan biaya promosi koperasi dan berhasil guna seperti penggunaan media promosi bisnis.
3. pada level operasional :
a) adanya pemahaman akan masalah keuangan, berkaitan dengan penyusunan pembukuan yang baik, penyusunan laporan keuangan tanpa adanya window dressing, sehingga semua kegiatan koperasi bisa transparansi dan mudah dipertanggungjawabkan kepada siapapun, termasuk kepada pihak-pihak eksternal.
b) Pengelolaan pembiayaan dalam hal :
− Manpower downsizing, merupakan penciutan tenaga kerja dalam sebuah usaha. Menurut penulis, penciutan tenaga kerja di Indonesia justru tidak perlu dilakukan koperasi, karena semakin banyak anggotanya, maka koperasi itu akan semakin memebrdayakan para anggotanya, dengan syarat pimpinan koperasi mampu jujur dan benar menjalankan manajemennya.
− Peningkatan produktivitas. Semakin tinggi produktivitas setiap anggota koperasi, maka semakin efisien koperasi tersebut dan diharapkan semakin tinggi pula pembagian sisa hasil usahanya.
− Pendisiplinan dalam masalah keuangan. Uang adalah masalah yang peka bagi banyak orang. Karena itu pengelola keuangan koperasi haruslah orang-orang terpilih yang tidak silau oleh uang dan memiliki kejujuran tinggi.
c) Memahami manajemen resiko. Resiko terjadi di manapun, termasuk dalam koperasi. Karena itu pemahaman resiko berusaha perlu diterapkan kepada semua anggota koperasi agar tidak terjadi salah persepsi antara anggota dan pengurus.
d) Adanya diversifikasi usaha. Peluang untuk melakukan diversifikasi usaha akan semakin mudah ditemukan bila semua anggota koperasi memiliki pola pikir yang kritis dan sistematis. Hal ini memang tidak mudah dilkukan, karena tingkat pendidikan yang masih cukup rendah dari para anggota koperasi
7. Penutup
Profesionalisme dalam koperasi tampaknya tidak bisa ditawar lagi harus menjadi sebuah kewajiban bagi para pihak yang prihatin dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, khususnya pemerintah dan dunia pendidikan, karena begitu perkoperasian di Indonesia berhasil, maka tingkat kemiskinan dan pengangguran yang ada akan bisa ditanggulangi.
Pengembangan profesionalisme bagi koperasi memang tidak mudah mengingat tingkat pendidikan dari banyak masyarakat Indonesia masih rendah. Tetapi mengingat peran koperasi dalam memakmurkan masyarakat Indonesia, maka dibutuhkan partisipasi dari seluruh pihak, bukan hanya pemerintah dan dunia pendidikan. Masih perlu adanya uluran tangan berbagai pihak di Indonesia untuk memajukan perkoperasian Indonesia :
1. Pemerintah
Pemerintah, baik pusat dan daerah, seyogyanya mulai menaruh perhatian yang fokus kepada pengembangan koperasi di Indonesia. Semua peraturan yang ada perlu diperhitungkan ulang, mana yang perlu diperbaiki dan mana yang perlu disusun sebagai landasan formal mengembangkan perkoperasian di Indonesia. Pemerintah pusat harus mampu bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam berbagai hal yang bisa mempengaruhi kehidupan perkoperasian Indonesia, sebagaimana terjadi saat ini.
Selain itu penegakan hukum atas pelanggaran semua peraturan yang ada harus ditegakan agar semua upaya untuk memberdayakan koperasi di Indonesia tidak mandul dan sia-sia.
2. Dunia pendidikan.
Dunia pendidikan, baik tingkat dasar, menengah maupun tinggi, sebaiknya mulai melakukan koordinasi satu dengan yang lain untuk memberikan perhatian tinggi kepada pemberdayaan koperasi, termasuk penilaian perlu tidaknya pelajaran koperasi masuk dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat dasar. Dengan demikian pengetahuan akan koperasi menjadi seuatu yang mendasar dan berakar dalam diri tiap anak sekolah dan diharapkan mereka mampu menjadi sarana sosialisasi bagi orang-orang di sekitarnya yang belum memahami pentingnya
koperasi bagi pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Universitas diharapkan memberikan peran yang tidak sekedar formalitas dalam membina koperasi dan UMKM. Maksudnya adalah bahwa beberapa kasus menunjukkan kalau pembinaan yang selama ini dilakukan dirasakan kurang efektif, karena tidak berkelanjutan. Menurut penulis, pembinaan dari pihak universitas yang lebih baik berupa pendampingan selama beberapa waktu yang cukup panjang dan berkelanjutan, misal satu tahun. Karena dari pihak universitaslah pembinaan profesionalisme, terutama yang berkenaan dengan manajemen dan masalah kepemimpinan. Tanpa manajemen dan kepemimpinan yang baik, maka sulit mengharapkan koperasi di Indonesia berkembang sebagaimana rekan-rekannya di negara-negara maju.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Saat ini banyak LSM, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang memberikan perhatian kepada pengembangan koperasi. Bisa saja LSM ini membantu pemerintah dalam hal pendanan bagi koperasi yang masih kesulitan mendapatkan dana, atau juga melakukan pendampingan yang membantu pihak universitas dalam mendidik para anggota koperasi mendapatkan profesionalismenya.
4. Usaha Besar.
Usaha besar pada umumnya memiliki profit yang (lebih) banyak dibandingkan koperasi. Ada contoh menarik di Taiwan, yang UMKM-nya sukses, di mana usaha besar dalam sektor industri melakukan kerja sama dengan koperasi dalam program satellite factory system, dengan industri besar melakukan sub kontrak beberapa komponen kepada industri kecil dan menengah. Pada dasarnya di Indonesia hal ini juga sudah pernah dilakukan, tetapi entah mengapa kerja sama ini kurang terdengar.
Selain cara di atas, usaha besar bisa memberikan perhatian kepada usaha kecil dan menengah melalui Corporate Social Cesponsibilitynya (CSR). Selama ini berdasarkan pengamatan penulis, masih cukup banyak perusahaan yang manfaatkan CSR demi kepentingan bisnisnya, padahal filosofis CSR adalah benar-benar murni tanggung jawab sosial dunia bisnis kepada stakehodernya, bukan merupakan strategi bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Asep, 2009. Pasar Tradisional yang Mengeluh. www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=2009518071825%20&&%20kunci-... (16 Oktober 2009, 11:07).
Depperin. 2005. Usaha Kecil Denmaek dalam Globalisasi, 14 Juli 2005. http://ilmea.depperin.go.id/inteleco/detail.php?kd=1361. (11 Oktober 2009, pk. 16.08).
Ferrell, O.C., dan Michael D. Hartline. 2005. Marketing Strategy, third edition . South Western, part of the Thomas Corporation.
Fry, Fred L., Charles R. Stoner, dan Richard E. Hattwick. 2001. Business : an Integrative Approach, second edition. McGraw-Hill, International Edition.
Harian Umum Pakuan 2009. Pasar Tradisional Harus Jadi Pasar Wisata, Selasa 16 Oktober 2009. http://www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=20090303084441/ (16 Oktober 2009, 11.07).
Harian Umum Pakuan. 2009. Pasar Tradisional Mengeluh, Selasa 16 Oktober 2009. http://www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=200905180/2825%20&&%20... (16Oktober 2009, 11.07).
Hariyono. 2003. Koperasi sebagai Strategi Pengembangan Ekonomi Pancasila, Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gajah mada. http://www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul05 1/html. (20 Oktober 2009, 13.49).
Heryadi. 2004. Pengembangan Usaha Mikro. Economic Review Journal, No. 198, Desember.
India Wine Academy. 2008. Wine Fearure : Co-operative Power of Italy, May 09 2008. http://www.indianwineacademy.com/item 6 216.aspx#. (26 oktober 2009, 19.33).
Karsidi, Ravik. 2005. Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Usaha Mikro Kecil Menengah di Era Otonomi Daerah . Universitas Islam Batik (UNIBA), Surakarta.
Kastaman, Roni. 2002. Identifikasi Peraturan dan Perundang-undangan bagi Pemberdayaan serta Pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi. Bandung.
Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2008. Model Pengembangan Pasar Tradisional Koperasi, 12 Agustus 2008. http://mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=921, (16 Oktober 2009, pk. 11.20).
Kementrian Negara Koperasi dan UKM. 2009. Suryadharma Ali Menneg Koperasi dan UKM, Pasar Modern Harus Perhatikan UMKM, 12 Mei 2009.
http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/412-suryadharma-ali-menneg-koperasi-dan-ukm-pasar-modern-harus-perhatikan-umkm.html. (19 Oktober 2009 : 13.30).
Kompas. 2007. 30 persen Koperasi di Indonesia macet, 31 Mei 2007. http://202.146.5.33/kompas-cetak/0705/31/sumbasel/3568970.htm. (16 Oktober 2009, 11.25).
Koran Jakarta. 2009. Koperasi dan UMKM Harus ”Go Local”. http://www.koran jakarta.com/ver02/file-pdf.php?id=13864&&idkat=0 (11 okt 09, 16.13).
Kotler, Philip, 2001. Marketing Management, Millenium Edition . Prentice Hall.
Kuncoro, Mudradjad. 2008. Strategi Pengembangan Pasar Modern dan Tradisional. Laporan Akhir, Kajian Rvaluasi Pemanfaatan Bantuan Sarana Pasar dalam Pemberdayaan KUKM, Kadin Indonesia.
Mathari, Rusdi. 2009. Hyoermarket : Mereka yang Digusur si Besar. www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor riil/355.php. (16 Oktober 2009, 10: 28).
Mubyarto. 2003. Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi, Universitas Gajah Mada. www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul05 3/html. (20 Oktober 2009, 13.44).
Mubyarto. 2004. Ekonomi Pancasila: Dua Tahun Pustep-UGM, Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Universitas Gajah Mada. www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul023 1/htm. (20 Oktober 2009, 13.32).
Paskarina, Caroline, Dede Mariana, dan Tjipto Atmoko. 2007. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Perindustrian dan Perdagangan. 1997. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia no. 420/MPP/Kep/10/1997 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan. Departement Perindustrian and Perdagangan.
Sadli, Muhammad. 1999. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah, Business News, tanggal 13 Desember 1999. http://www.pacific.net.id/pakar/sadli/1299/131299.html. (11 okt 09, pk. 16.36).
Sharma, Paramjit. Cooperative Development in Different Countries for International Programme on Banking for Development. Unpublished Powerpoint.
Soesilo, Iskandar, tt. ”Pengertian Koperasi”, disadur dari buku Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia, karangan H.M. Iskandar Soesilo.
Tjakrawerdaja, Subakto. 2009. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 8 Januari 2009. http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=832. (11 Oktober 2009, 16.03).
Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Nama Anggota Kelompok :
1. Cinthia Febriani (21210595)
2. Fathia Nafira Fariz (29210128)
3. Sarah Nadia (28210925)
4. Susilona Agustina (26210757)
Kelas : 2EB10
0 Comments:
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)