Sabtu, 17 Desember 2011

JUDUL : Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia 

Oleh : Fransisca Mulyono
Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan : sisca@home.unpar.ac.id 

Sumber : Jurnal Administrasi Bisnis (2010), Vol.6, No.1: hal. 1–21, (ISSN:0216–1249) 2010 Center for Business Studies. FISIP - Unpar . Mengembangkan Koperasi Sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat Indonesia.

Abstract
Cooperative in Indonesia is an mandated institution as mentioned in Undang-undang Dasar  1945.  After  65  years  in  its  development,  cooperatives  in  Indonesia  is  still not  developing  well.  In  other  countries  cooperatives  proved  to  become  successful business  organizations.  This  paper aimed  to  describe  and  analyze  the  causes  of underdevelopment of cooperatives in Indonesia.
1.                           Pendahuluan
Di  Indonesia,   sudah   umum     diketahui  bahwa    komposisi    aktivitas kewirausahaan didominasi oleh  usaha   kecil  dan   mikro.   Jika  dilihat dari  keseluruhan    struktur ekonomi,    dari  39,72  juta  pengusaha    yang   saat  ini ada,  sekitar  39,71   juta atau 99,97%  adalah  pengusaha  mikro,  kecil  dan  menengah  (terkenal  dengan  singkatan UMKM). Lebih jauh, sekitar 98% dari jumlah itu didominasi oleh pengusaha mikro (Heryadi, 2004 : 1). Dalam perjalanan waktu sampai saat ini, UMKM perlu semakin mendapatkan perhatian yang besar dari pemerintah secara khusus karena perannya dalam membangun perekonomian nasional Indonesia adalah semakin besar. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah adalah usaha yang sudah terbukti berhasil dalam mengatasi berbagai krisis. Di Indonesia ketika krisis moneter terjadi di tahun 1997 UMKM terbukti mampu untuk tetap eksis dan berkembang dan menjadi penyelamat  perekonomian  bangsa  berkat  kemampuannya  memberikan  sumbangan  yang signifikan kepada Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah UMKM secara nasional di Indonesia ada 42,4 juta dengan memberikan sumbangan terhadap PDB mencapai Rp 1.013,5 trilyun  (56,7%  dari  total  PDB)  dan  kemampuan  penyerapan  tenaga  kerja  sebesar 79 juta jiwa (Karsidi, 2005 : 2). Kemampuan bertahan UMKM ini dipertegas oleh Presiden Indonesia : Soesilo B. Yudhoyono mengakui bahwa keberhasilan Indonesia bertahan  dari  dampak  krisis  keuangan  global  yang  tengah  melanda  negara-negara Barat tidak terlepas dari peran koperasi dan UMKM (Koran Jakarta, tt.). Tidak aneh jika beberapa lembaga dunia melihat UKMN sebagai pencipta lapangan kerja (ILO), alat untuk memerangi kemiskinan di negara-negara berkembang (IMF, Bank Dunia dan ADB) (Sadli, 1999).
     Kecenderungan kemampuan UMKM memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara tidak saja terjadi di Indonesia dan negara-negara berkembang, namun juga terjadi di negara-negara maju. Di Asia, perkembangan  sektor  UKM  ini  juga  dilihat  sebagai  salah  suatu  jalan  keluar  dari krisis ekonomi (Sadli : 1999). UMKM Denmark saat ini diakui sebagai salah satu UMKM paling berhasil di Barat yang melakukan proses internasionalisasi melalui outsourcing  dengan  memperlakukan  globalisasi  sebagai  ajang  untuk  mendapatkan peluang bukan ancaman (Depperin, 2005).
     Agar   UMKM      bisa  semakin   memberdayakan      diri, maka   wadah   yang   tepat untuknya    adalah   pasar.  Pasar  adalah   tempat   di  mana    pembeli   dan   penjual bertemu  dan  melakukan  tawar  menawae  atas  barang  dan  jasa  (Fry  et.al.,  2001  : 178).  Pemahaman  tentang  pasar  ini  boleh  dikatakan  sama  dengan  definisi  pasar berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia  no.  420/MPP/Kep/10/1997  (selanjutnya  disingkat  sebagai  Kepmenindag no.  420/MPP/Kep/10/1997)  tentang  Pedoman  Penataan  dan  Pembinaan  Pasar  dan Pertokoan, Bagian II tentang Pengertian ayat (1).
2.                          Kasus Pasar Tradisional
2.
Pasar dalam tulisan ini adalah pasar fisik di mana pembeli dan penjual bertemu secara langsung
bukan pasar visual di mana proses jual beli dilakukan melalui internet dan tanpa ada tatap muka secara langsung antara pembeli dan penjual.  Berdasarkan Lampiran Kepmenindag no. 420/MPP/Kep/10/1997 bagian II tentang Pengertian, pasal 1, pasar bisa digolongken ke dalam dua kategori berdasarkan kela mutu pelayanannya, yaitu (1) pasar tradisional dan (2) pasar modern. Menurut Pasal 2 dari Lampiran yang sama dijelaskan tentang pasar tradisional, yaitu pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dna tenda yang dimiliki/dikelola oleh  Pedagang  Kecil  dan  Menengah  dan  Koperasi,  dengan  usaha  skala  kecil  dan modal kecil, dan dengan proses jual beli melalui rawar-menawar.
     Menurut Pasal 3 dari Lampiran yang sama, dijelaskan tentang Pasar Modern adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau Koperasi yang dalam bentuknya berupa Mal, Supermarket, Department Store, dan Shopping Centre di mana pengelolaanya  dilaksanakan  secara  modern,  dan  mengutamakan  pelayanan  kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada di satu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti.
     Menurut Wahyudi dan Ahmadi yang dikutip oleh Paskarina (2007 : 10), pasar secara sosiologis dan kultural memiliki makna filosofis sebagai arena jual beli produk dan juga tempat pertemuan warga untuk berinteraksi sosial atau melakukan diskusi formal atas permasalahan kota. Artinya, melalui interaksi yang terjalin antara penjual dan pembeli, pembeli dengan pembeli, atau penjual dengan penjual, maka sebuah hubungan bisnis bisa terjalin dengan baik. Bahkan hubungan ini bisa berlanjut menjadi hubungan sosial yang dalam yang pada akhirnya akan membuat loyalitas konsumen menjadi  tinggi  untuk  pedagang  yang  mampu  menjalin  hubungan  sosial  yang  baik dengan konsumennya.
     Makna filosofis di atas tampak hanya ada pada pasar tradisional, karena melalui tawar menawarlah hubungan bisnis dan sosial terjadi. Sementara pada pasar modern, makna filosofis ini tidak terjadi karena tidak ada unteraksi sosial antara pembeli dan penjual. Hal ini disebabkan adanya sistem self-service pada pasar modern di mana pembeli melayani dirinya sendiri tanpa dibantu karyawan toko dalam berbelanja.
     Dengan  makna  filosofis  tersebut,  maka  keberadaan  pasar  tradisional  menjadi semakin penting untuk dipeliharaa keberadannya agar hubungan sosial yang terjalin bisa  dikembangkan  lebih  luas  lagi  yang  diharapkan  akan  semakin  memperbesar usaha  yang  telah  ada.  Hal  ini  dikarenakan  bila  seorang  konsumen  yang  merasa puas dengan seorang penjual, maka tanpa diminta penjual tersebut, pembeli itu akan dengan  sendirinya  menyebarkan  nformasi  yang  baik  tentang  penjual  tersebut.  Informasi yang baik ini umumnya akan menarik para pendengarnya untuk mencoba berbelanja kepada penjual tersebut, sehingga penjual tersebut akhirnya akan mendapatkan pembeli yang lebih banyak tanpa upaya promosi apapun. Dalam manajeme pemasaran hal ini dikenal sebagai word-of-mouth, alat promosi gratis tetapi efektif dalam meningkatkan jumlah pembeli dan pembelian.
     Kenyataan memperlihatkan bahwa keberadaan pasar modern di manapun di Indonesia menjadi ”hantu di siang ”bolong bagi para pedagang di pasar tradisional, karena dengan permodalannya yang kuat (yang mampu berbelanja langsung ke para produsen berdasarkan skala ekonominya yang besar yang akhirnya mampu menerapkan harga jual yang lebih murah daripada pasar tradisional) yang didukung dengan kenyamanan berbelanja, membuat para konsumen pasar tradisional beralih berbelanja di pasar modern. Menurut Suhito yang dikutip Paskarina (2007 : 6), berdasarkan hasil peneltian AC. Nielsen diketahui bahwa kontribusi penjualan pasar tradisional terus merosot. Pada tahun 2002, dominasi penjualan di pasar tradisional bisa mencapai 75%, sementara tahun 2006 hanya menjadi 70%.
     Penurunan tingkat penjualan para pedagang tradisional di atas juga dikarenakan oleh kurangnya penertiban zonasi paasr modern terhadap pasar tradisional. Tujuan diterapkannya zonasi (adalah penentuan batas jarak fisik keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional) oleh Perda guna melindungi eksistensi pasar tradisional. Tetapi dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Di Jakarta dalam Perda no. 2 tahun 2002 tentang Pengaturan Jarak Pasar Modern dan Tradisional diatur jarak pasar modern minimal 2,5 km dari pasar tradisional, tetapi kenyataan berbicara lain. Di Jakarta Timur, ada Carrefour Hypermarket (sebuah tempat berbelanja yang mampu menetapkan  harga  yang  lebih  murah  daripada  pasar  tradisional  dan  bahkan  pasar modern lainnya yang berskala lebih kecil, juga menjual variasi barang yang banyak sekali selain kenyamanan berbelanja, bahkan menjual hewan kurban saat hari Raya Kurban mendekat) yang berlokasi hanya sekitar 500 meter dari PD. Pasar Jaya. Di Depok, usaha grosir seorang pedagang menurun dengan drastis ketika sebuah perkulakan didirikan tidak jauh dari tempatnya berjualan. Omzet penjualan usaha grosir ini tadinya berkisar Rp. 10 juta - Rp. 12 juta per hari, setelah ada perkulakan tersebut, omzetnya tinggal Rp. 1 juta - Rp. 1,5 juta per hari (Mathari, 2009). Di Bandung para pedagang pasar tradisional juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih berat lagi, karena  pesaingnya  bukan  hanya  pasar  modern  yang  lokasinya  berdekatan  dengan mereka, tetapi juga dari Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disingkat sebagai PKL) yang diperbolehkan berjualan di sekitar pasar mereka (Asep, 2009).
      Selain kesulitan bersaing dengan pasar modern dan PKL, para pedagang pasar tradisional  juga  masih  harus  menghadapi  masalah  lainnya  yang  juga  tidak  kalah berat, yaitu penebusan kiosnya yang lama dengan harga tinggi ketika terjadi revitalisasi pasar oleh investor. Sering terjadi banyak pedagang di pasar tradisional yang direvitalisasi akhirnya tersingkir karena tidak mampu membeli kiosnya yang tidak terjangkau.
      Banyak tudingan diarahkan kepada pemerintah daerah atas terpuruknya eksistensi pasar tradisional. Menurut penulis, tudingan itu sebagian ada benarnya, tetapi sebagian tidak benar. Bukan rahasia lagi jika sejak diberlakukannya otonomi daerah, setiap daerah harus benar-benar menghidupi dirinya sendiri karena dana dari pusat tidak mencukupi untuk membangun daerahnya. Kasus banyaknya perda yang dicabut karena tidak sesuai dengan aturan di atasnya merupkan salah satu contoh. Niat baik pemerintah daerah untuk merevitalisasi pasar yang kumuh, tidak nyaman dan semrawut agar menjadi lebih baik kontribusinya bagi pembangunan daerah, tetapi tidak didukung  oleh  dana,  sehingga  akhirnya  pemerintah  daerah  mengundang  investor. Dengan situasi seperti ini, maka harus ada trade-off : pasar tradisional menjadi lebih cantik  dan  diharapkan  bisa  lebih  kuat  menghadapi  persaingan  dari  pasar  modern, tetapi  di  sisi  lain  ada  korban  :  banyak  pedagang  di  pasar  tradisionalnya  akhirnya tersingkir. Kondisi seperti ini dipahami oleh Menteri Koperasi Suryadharma Ali yang menyatakan bahwa keberadaan pasar modern merupakan dilema bagi pemerintahan kota atau kabupaten, karena di satu sisi keberadaan pasar modern dalam kenyataan- nya menghambat pertumbuhan pasar tradisional, sementara di sisi lain merupakan indikator dari kemajuan kota atau kabupaten tersebut (Kementrian Negara Koperasi dan UKM : 2009). Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya Kementrian Negara Koperasi dan UKM memiliki program pemberdayaan pasar tradisional yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk melakukan renovasi dan pembangunan pasar untuk meningkatkan peran UKM dan koperasi pasar (Laporan akhir, tt : 1-1), tetapi tidak mungkin dana yang tersedia dan terbatas bisa menjangkau seluruh pasar tradisional di seluruh Indonesia. Pasti terjadi antrian untuk mendapatkan dana tersebut. Waktu yang lama untuk mengantri dana tersebut bisa menghambat pembangunan daerah.
      Trade-off ini menurut penulis amat terpaksa dilakukan karena keberadaan pasar tradisional adalah penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Kota Bandung bisa  diperoleh  dari  retribusi  pasar,  ketertiban  di  pasar,  fasilitas  mandi-cuci-kakus (MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB). Sebagai contoh, di tahun 2005, Anggaran  Biaya  Belanja  Dinas  Pengelolaan  Pasar  Kota  Bandung  mencapai  Rp.  5 Milyar lebih sementara targetnya sendiri yang berasal dari pasar tradisional adalah sebesar Rp. 4,6 Milyar (Paskarina et.al., 2007 : 6). Jadi peran pasar tradisional dalam menunjang PAD adalah sangat tinggi.
      Permasalahan adanya perbedaan target dan realisasi PAD yang berasal dari kontribusi pasar tradisional dengan Anggaran Biaya Belanja Dinas Pengelolaan Pasar Kota  Bandung  di  atas  sebenarnya  bisa  diseimbangkan  dengan  lebih  baik,  bahkan target bisa dilebihkan dan melebihi realisasinya, karena selama ini pembinaan para pedagang pasar tradisional masih belum optimal. Sebagai contoh, Kuncoro (2008 : 9) menyatakan bahwa kesadaran pedagang pasar tradisional dalam membayar retribusi masih kurang. Artinya dengan adanya pembinaan yang lebih baik kepada para pedagang pasar tradisional, maka pembayaran retribusi bisa semakin meningkat. Fakta bahwa masih rendahnya para pedagang pasar tradisional membayar retribusi pasar perlu  dipertanyakan  mengapa  bisa  demikian  dan  digali  lebih  mendalam  mengapa bisa terjadi.  Hal  ini  perlu  dilakukan  demi  mengembangkan  pasar  tradisional  yang perlu dilestarikan.
      Eksistensi pasar tradisional harus diberdayakan, karena ia memiliki beberapa nilai strategis, yaitu :
  1.  berdasarkan sensus ekonomi yang dilakukan Biro Pusat Statistika (BPS) tahun  2006, di Indonesia terdapat 10 juta pedagang ritel tradisional (Kuncoro, ibid : 18).
  2.  masih  menurut  Kuncoro,  jumlah  kunjungan  konsumen  ke  pasar  tradisional  di Indonesia adalah sebanyak 25 kali dalam per bulan, hanya dikalahkan oleh Vietnam  yang  jumlah  kunjungan  sebanyak  29  kali  per  bulan.  Bandingkan  dengan  India dan Srilanka yang jumlah kunjungan konsumen hanya sebanyak 11 kali per bulan, dan Philipina hanya sebesar 14 kali per bulan. Menurut penulis, banyaknya  jumlah kunjungan ini memperlihatkan kalau pembeli pasar tradisional yang hampir setiap hari datang ke pasar tradisional adalah untuk mencari ”kesegaran” dari  sayuran atau buah-buahan. Berdasarkan pengamatan penulis di Bandung, orang-orang  kaya  sekalipun  yang  tinggal  di  perumahan  mewah  tetap  cukup  sering berbelanja di pasar.
  3.  Kesegaran sayuran atau buah yang dijual di pasar tradisional merupakan kelebihan pasar tradisional dibandingkan pasar modern dan perlu dipertahankan. Justru dikarenakan kurangnya  fasilitas pengawet  sayuran dan buah tidak  seperti  di pasar modern tingkat kesegaran sayur secara khusus dan buah menjadi menjadi sangat tinggi. Sayur yang dijual di pasar tradisional hanya bertahan kurang dari  satu hari. Jadi ketika pembeli berbelanja di pasar tradisional, tingkat kesegaran sayurnya bisa dijamin tinggi. Di pasar modern yang dikarenakan adanya fasilitas pendingin sayur dan sebagian buah membuat pembeli tidak mengetahui dengan pasti tingkat kesegaran sayur dan buah yang dibelinya.
 4.  sebagaimana telah diuraikan di atas, pasar tradisional memiliki makna filosofis yang tetap menghidupkan tali silaturahmi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kerukunannya. Jika pasar tradisional hilang, maka interaksi sosial antara satu orang dengan yang lainnya akhirnya akan berkurang dan menurut penulis hal ini berbahaya bagi Indonesia, karena kondisi seperti ini akan menghasilkan generasi-generasi  individualis  yang  egois  dan  tidak  peka  terhadap  situasi  dan kondisi  sesamanya.  Indonesia  berasaskan  Pancasila,  maka  hal  tersebut  tidak boleh  terjadi  dan  muncul  di  bumi  Indonesia  (penciptaan  generasi-generasi  individualis  sudah  mulai  tampak  melalui  sistem  pendidikan  saat  ini  di  tingkat dasar  yang  begitu  berat  membebani  anak-anak  sekolah  dasar  yang  akhirnya tidak memilki kesempatan untuk menikmati masa kecilnya yang wajar. Beberapa pengamatan menunjukkan cukup banyak anak sekolag dasar kebalan penulis yang  perilakunya  sering  menunjukkan  perilaku  stres,  yaitu  sering  marah  pada orang tuanya, terutama jika pekerjaan rumahnya agak sulit atau membaca teks yang agak panjang).
5.  Lokasi pasar tradisional adalah relatif lebih dekat dengan pemukiman konsumen, karena lokasi keberadaan pasar tradisional tidak diatur secara ketat seperti pasar modern. Pasar tradisional boleh berlokasi di setiap sistem jaringan jalan (Kuncoro,  2008  :  14).  Di  satu  daerah  di  kawasan  Bandung  Utara  di  lingkungan sebuah  perumahan  elit  setiap  pagi  bisa  dijumpai  beberapa  mobil  bak  terbuka yang  berjualan  sayur  dan  buah  di  sebuah  lahan  sempit  sebagaimana  layaknya pasar tradisional dan para pembelinya berdatangan dari sekitar perumahan tersebut menggunakan mobil. Ketika siang hari kita melewati jalan yang sama, kita tidak akan tahu kalau pagi harinya di lokasi tersebut ada ”pasar tradisional”.
6.  tidak  ada  ketentuan  berapa  luas  sebuah  pasar  tradisional,  tidak  sebagaimana diatur untuk pasar modern (lihat kuncoro, ibid). Dari point (5) di atas terlihat bahwa ketika dirasakan ada sebuah ruang walaupun kecil bisa digunakan untuk berjualan sayur, maka terciptalah sebuah pasar tradisional.
7.  pasar tradisional memiliki kontribusi dalam penciptaan PAD sebuah daerah untuk  mandiri  dari  pemerintah  pusat  dalam  masalah  ekonomi  guna  membangun daerahnya.


      Melihat nilai strategis pasar tradisional di atas, sudah tidak terbantahkan lagi kalau  eksistensinya  perlu  dipertahankan.Tetapi  kondisi  para  pedagang  di  pasar  tradisional  yang  sudah  bergabung  dalam sebuah kelompok, dalam hal ini adalah koperasi, tetap saja mudah dipatahkan. Hal ini diperlihatkan oleh kasus koperasi pasar di beberapa pasar tradisional Kota Bandung yang merasa disingkirkan karena tidak pernah dilibatkan lagi dalam pengelolaan pasar oleh pengelola pasar yang baru (Paskarina, et.al, 2007 : 2). Kondisi ini memperlihatkan betapa posisi koperasi pasar sangatlah lemah, sehingga tidak mampu untuk memiliki bargaining power yang tinggi menghadapi pihak eksternal koperasi pasar  yang  mengakibatkan  ketidakberdayaan  koperasi  pasar  dalam  membela  para anggotanya.
      Selain itu berdasarkan pengamatan dan berita di media masa terlihat bahwa pada dasarnya UMKM yang menjadi pembentuk koperasi selalu memiliki 2 masalah klise yang terus terjadi sampai sekarang :
 1.  mereka mengeluh kekurangan modal.
2.  mereka juga mengeluh tidak mampu memasarkan barangnya.
      Masalah kekurangan modal memang seringkali menjadi penghambat utama untuk memulai sebuah usaha yang mandiri. Tetapi dengan dibentuknya koperasi primer, maka kesulitan akan modal ini bisa semakin diatasi. Misalnya melalui pembentukan koperasi konsumsi sebagai langkah awal yang diharapkan bisa memiliki sisa hasil usaha untuk dijadikan modal dalam bidang usaha lainnya. Kreativitas berfikir bisa digunakan untuk mengatasi masalah permodalan. Hanya yang menjadi masalah adalah karena kurangnya tingkat pendidikan, maka kreativitas ini menjadi kurang pula.
Untuk itu, untuk sementara masih diperlukan bantuan dunia pendidikan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menjadi pendamping para UMKM dan koperasi dalam mengelola usahanya.
      Tentang  masalah  ketidakmampuan  mereka  memasarkan  barangnya,  ada  pengalaman penulis dan teman-teman di sebuah desa di Garut berusaha untuk membina pengembangan para ibu rumah tangga di sana yang bisa membuat berbagai macam kripik.  Tetapi  pimpinan  mereka  secara  tegas  menyatakan  bahwa  kebutuhan  mereka  dari  kami  adalah  memasarkan  keripiknya.  Jadi  dalam  hal  ini  terlihat  adanya ketidakpercayaan diri para UMKM ini dalam memperjuangkan nasibnya sendiri. Agar koperasi dan para UMKM mampu mandiri, maka perlu adanya pengarahan dari pemerintah, LSM, usaha besar dan dunia pendidikan yang memberdayakan koperasi untuk memancing ikan sendiri, bukan lagi mengharapkan pemberian ikan dari berbagai pihak. 
3.                             Koperasi : Pemberdaya UMKM
3.
Koperasi tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia lainnya juga Misalnya di Jerman koperasi sudah dikenal sejak tahun 1864 dengan dibentuknya koperasi kredit pertama oleh Friedrich Raiffeisen, bapak koperasi Jerman. Di Inggris dan Amerika Serikat, koperasi perumahan juga telah dikenal sejak tahun 1800an yang dibentuk oleh Robert Owen, salah satu pelopor manajemen.
      Menurut Undang-undang no. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disingkat menjadi UU no. 25 tahun 1992) Pasal 1 ayat (1) Koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam Pasal 2, Koperasi di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berdasarkan  atas  asas  kekeluargaan.  Koperasi  yang  dimaksud  oleh  Pancasila  dan UUD 1945 adalah lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak berkemanusiaan sehingga mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara (Hariyono, 2003).
     Ide dasar filosofis koperasi adalah kerja sama (cooperation dalam bahasa Inggris, coopertie dalam bahasa Belanda atau coopere dalam bahasa Latin), sementara landasan prinsip-prinsip koperasi Menurut Ima Suwandi yang dikutip oleh Soesilo (tanpa tahun : 2) adalah solidaritas, demokrasi, kemerdekaan, altruisme (sikap memperhatikan kepentingan orang lain selain kepentingan diri sendiri) keadilan, keadaaan perekonomian  negara  dan  peningkatan  kesejahteraan.  Di  Indonesia  prinsip-prinsip koperasi dituangkan dalam UU no. 25 tahun 1992 Pasal 5 ayat (1) :
 1.  Keanggotaannya  bersifat  sukarela  dan  terbuka,  artinya  siapapun  bisa  menjadi anggota koperasi sepanjang memiliki kebutuhan yang sama. Jadi tidak boleh ada diskriminasi dalam masalah ekonomi, sosial, politik dan budaya dalam koperasi.
 2.  Pengelolaan dilakukan secara demokratis. Demokrasi ditunjukan melalui pemilihan pengurus (manajer) melalui kesepakatan para anggota yang masing-masing memiliki satu suara. Demikian juga dengan pembuatan keputusan yang dilakukan dalam Rapat Anggota yang dihadiri oleh seluruh anggota koperasi (lihat UU no. 25 tahun 1992 Pasal 23).
3.  Pembagian  sisa  hasil  usaha  dilakukan  secara  adil  sebanding  dengan  besarnya jasa usaha masing-masing anggota, artinya, siapapun dalam koperasi tidak ada yang diperlakukan tidak adil dalam pembagian sisa hasil usaha (jika ada), karena pembagian tersebut dilakukan sesuai kontribusi setiap anggota. Ketika seorang anggota koperasi konsumsi berbelanja dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan  anggota  lainnya,  maka  ia  berhak  untuk  mendapatkan  porsi  yang  lebih besar dari sisa hasil usaha yang ada sesuai dengan kontribusinya kepada koperasi melalui pembelian barang yang lebih banyak.
 4.  Pemberian  balas  jasa  yang  terbatas  terhadap  modal,  yaitu  bahwa  dikarenakan koperasi  adalah  kumpulan  orang,  bukan  modal,  maka  mereka  yang  memiliki kekayaan  lebih   tidak  akan  bisa menguasai  mereka yang kekayaannya lebih sedikit. Setiap anggota koperasi tidak perduli kekayaannya memiliki kedudukan yang setara, yaitu satu suara. Dengan hal ini maka demokratisasi bisa dipertahankan dalam koperasi.
5.  Kemandirian,  maksudnya adalah bahwa koperasi tidak bergantung kepada siapapun dalam  hal  apapun,  termasuk   kepada   pemerintah,   karena  prinsip  koperasi adalah  dari  anggota,  oleh  anggota  dan  untuk  anggota.  Dengan  kata  lain koperasi adalah self-help organization. Di Indonesia, karena  tingkat  kemiskinan  yang  masih  cukup  tinggi  dan  masih  rendahnya tingkat pendidikan menjadikan banyak UMKM menjadi tidak berdaya dalam  menghadapi  persaingan  dari  pihak  lain,  apakah  sesama  UMKM maupun dari pihak di luar UMKM. Sementara dalam ayat (2) dinyatakan prinsip lain, yaitu :
 1.  pendidikan koperasi.
2.  Kerjasama koperasi. Dalam Penjelasan atas UU no. 25 tahun 1992 dinyatakan
bahwa    kerjasama   dapat  dilakukan  antar  koperasi  di  tingkat lokal, regional, nasional da internasional.
    Dengan  adanya  pasal  ini,  setiap  koperasi  memiliki  peluang  yang  tinggi  untuk  bekerja  sama  dengan  siapapun.  Prinsip-prinsip  koperasi  Indonesia  ini  adalah prinsip yang baik, di mana di dalamnya mengutamakan kebersamaan antara anggota koperasi yang satu dengan yang lainnya demi pencapaian tujuan bersama, tanpa perlu adanya konflik dan persaingan tidak sehat di antara mereka. Dengan demikian  bila  prinsip-prinsip  ini  dupahami  dengan  baik  oleh  seluruh  anggota koperasi, maka diharapkan pencapaian tujuan koperasi bisa diraih dengan baik tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya asli Indonesia, yaitu kekeluargaan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
     4.  Perbedaan Koperasi dengan Badan Usaha Non Koperasi
Menurut Soesilo (tt : 11) ada beberapa perbedaan mendasar antara koperasi dengan badan usaha non koperasi, yaitu :
1.  koperasi adalah kumpulan orang bukan kumpulan modal sebagaimana perusahaan non koperasi.
2.  dalam badan usaha non koperasi, suara ditentukan oleh besarnya jumlah kepemilikan  saham  atau  modal,  sementara  dalam  koperasi  setiap  anggota  memiliki jumlah suara yang sana yaitu satu orang anggota memiliki satu suara dan tidak bisa diwakilkan.
3.  anggota koperasi adalah pemiliki sekaligus pelanggan, sehingga kegiatan usaha koperasi  harus  sesuai  dan  berkaitan  dengan  kebutuhan  ekonomi  anggotanya. Pada badan usaha non koperasi, pemegang saham tidak harus menjadi pelanggan. Badan usahanyapun tidak harus melayani kepentingan ekonomi pemegang saham. Sesuai dengan tujuan koperasi, yaitu melayani kebutuhan anggotanya karena pendirian  koperasi  didasarkan  kepada  kebutuhan  para  anggotanya  yang  sama  maka bidang usaha koperasi akan sama dengan kebutuhan para anggotanya. Misalnya jika nelayan di sebuah desa membentuk koperasi dengan kebutuhan untuk mengembangkan pemasaran ikannya, maka koperasi yang tepat untuk dibentuk adalah koperasi nelayan. Tetapi jika para nelayan itu memiliki kebutuhan memperoleh kebutuhan dapurnya dengan harga murah, maka mereka bisa membentuk koperasi konsumsi yang melayani semua kebutuhan dapur anggotanya. Dalam badan usaha bisnis, kebutuhan pemilik dalam bidang apapun tidak harus dilayani  oleh  badan  usahanya.  Tujuan  dibentuknya  badan  usaha  bisnis  adalah mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemilik modal melalui usaha apapun yang bisa saja tidak dipahami oleh pemilik modal, asalkan pengelolanya (manajer) mampu menjalankan badan usaha tersebut dengan baik.
 4.  tujuan badan   usaha  non   koperasi  adalah  mendapatkan     keuntungan   setinggi mungkin,  sementara  koperasi  memberikan  manfaat  pelayanan  ekonomi  yang sebaik-baiknya kepada anggota.
5.  anggota koperasi mendapatkan bagian sisa hasil usaha yang sebanding dengan besarnya transaksi usaha masing-masing anggota kepada koperasinya, sementara pemegang saham pada badan usaha non koperasi memperoleh bagian keuntungan sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Pembagian  sisa  hasil  usaha  dalam  koperasi  ditentukan  berdasarkan  kontribusi para anggota.
              5. Penerapan Konsep-konsep Bisnis oleh Koperasi
Sejarah menunjukkan kalau keberhasilan sebuah koperasi dalam memberikan manfaat pekayanan ekonomi sebaik mungki kepada anggota-anggotanya ditentukan oleh penerapan  konsep-konsep  bisnis.  Koperasi  di  negara-negara  maju  banyak  memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian negaranya. Dalam industri anggur, tercatat bahwa 30% anggur produksi Jerman dihasilkan oleh koperasi, tetapi Italia terbukti memiliki koperasi yang paling kuat karena 50% produksi anggurnya dikontrol oleh lebih 600 koperasi. Para petani anggur mau bergabung dalam koperasi karena pemasaran produknya menjadi lebih mudah. Koperasi terbesar di Itali adalah pihak yang mengemas anggurnya dalam tetra pack pertama kali di dunia berkat riset dan inovasinya (India Wine Academy, 2008).
     Koperasi  di  Denmark  yang  dianggap  merupakan  koperasi  paling  berhasil  di Eropa dalam upayanya go international ditunjang oleh konsep outsourcing yang tidak lain merupakan konsep bisnis.
     Di  Taiwan  koperasi  melakukan  kerja  sama  dalam  membangun  jaringan  yang dikenal dengan cooperative exchange program, yaitu program kerja sama antar koperasi  dalam  berbagai  informasi  dan  pengalaman  secara  multi  sektoral  (Dipta,  tt). Artinya jenis koperasi yang satu bisa bekerja sama dengan satu jenis atau lebih koperasi  lainnya.  Misal,  sebuah  koperasi  konsumsi  bisa  bekerja  sama  dengan  sebuah koperasi  simpan  pinjam  dan  koperasi  pertanian.  Kerja  sama  ini  dilakukan  dalam rangka mendapatkan barang pertanian dengan harga murah dan juga modal untuk keperluan usahanya.
     Koperasi-koperasi  yang  sukses  ini  tidak  bisa  tidak  dikarenakan  penguasaan manajemen  usaha  yang  baik  oleh  para  pengurus  dan  anggotanya,  termasuk  manajemen  pemasaran,  manajemen  sumber  daya  manusia,  manajemen keuangan dan manajemen produksi, termasuk implementasi balanced Scorecard untuk mengkuantifikasikan  semuanya  dalam  sebuah  matriks.  Artinya,  agar  berhasil,  koperasi  mau tidak mau harus menguasai konsep-konsep nisnis, karena para pesaingnya, apakah koperasi dan non koperasi, yang semakin banyak menggunakan konsep-konsep bisnis.

     Koperasi di Indonesia pada dasarnya juga sudah menggunakan konsep-konsep bisnis, walaupun diperkenalkan oleh pemerintah melalui pembinaannya (Tjakrawer- daja : 2009) :
1.  Adanya pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang Produksi dan Pengolahan, Pemasaran, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi. Pembinaan  ini  berkaitan  dengan  fungsi  manajemen  dalam  dunia  bisnis  yang berorientasikan kepada manufaktur.
2.  Adanya bidang Produksi dan Pengolahan yang meliputi peningkatan kemampuan teknis  tersebut,  yakni  peningkatan  kemampuan  rancang  bangun,  kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi.
3.  Adanya  bidang  Pemasaran  yang  meliputi  promosi,  kemitraan,  kontak  bisnis, pameran, pengembangan jaringan distribusi dan promosi pasar.
 4.  Adanya bidang Sumber Daya Manusia meliputi gerakan kewirausahaan nasional, pembudayaan dan pelembagaan kewirausahaan, disamping kegiatan diklat, magang, studi banding dan pembentukan pusat pengembangan usaha kecik (PPUK) serta adanya klinik usaha.
5.  Dalam  bidang  Teknologi  meliputi  pengembangan  pusat  informasi  usaha,  pengembangan jaringan kerja antar berbagai riset teknologi, termasuk kemudahan kredit bagi rehabilitasi/renovasi teknologi serta kegiatan inkubator bisnis.
     Walaupun sudah diperkenalkan penerapan konsep-konsep bisnis oleh pemerintah secara khusus, koperasi di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari harapan. Menurut  Ketua  Umum  Dewan  Koperasi  Indonesia,  Adi  Sasono,  pada  tahun  2007 ada  sekitar  138.000  koperasi  di  seluruh  Indonesia,  tetapi  30%  diantaranya  belum aktif.  Penyebabnya  antara  lain  :  (1)  dikarena  kekurangan  modal  akibat  kenaikan harga  BBM  di  tahun  2004,  dan  (2)  pemerintah  dirasakan  kurang  membina  koperasi melalui peraturan yang tidak mendukung pengembangan koperasi (Kompascetak.com, 2007). Dengan kondisi seperti ini maka adalah sulit untuk mengembangkan koperasi yang mampu menyaingi usaha bisnis (non koperasi). Padahal situasi global saat  ini  dan  mendatang  memiliki  implikasi yang bisa mempersempit ruang  gerak koperasi, diantaranya adalah :
1.  Kompetisi yang semakin meningkat. Globalisasi membuat dunia menjadi semakin sempit dikarenakan teknologi internet. Sehingga karenanya pertukaran informasipun, baik dalam dunia bisnis, dunia politik, budaya dan sosial, menjadi jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Perubahan  hampir  dalam  segala  aspek  kehidupan  manusia  yang  terjadi  begitu cepat,  terutama  dalam  perilaku  konsumen,  membuat  kompetisi  dalam  dunia bisnis menjadi semakin tinggi.
 2.  Semakin meningkatnya power dari perusahaan bisnis. Saat ini semakin banyak perusahaan bisnis yang mampu memiliki power yang begitu besar, bahkan melebihi power dari negara, biasa dikenal dengan corporate power.
 3.  Adanya peluang-peluang baru dalam disinvestasi. Saat  ini  banyak  investasi  yang  dilakukan  bukan  berupa  finansial,  tetapi  dalam bentuk lainnya, misalnya kerja sama antar koperasi (cooperative exchange program) yang mampu saling memberdayakan koperasi atau program lainnya seperti ”program bapak angkat” yang dilakukan antara usaha besar dengan usaha kecil.
 4.  Semakin cepatnya pasar berubah. Perilaku pasar yang begitu cepat berubah harus mampu diantisipasi oleh koperasi jika tidak ingin tertinggal kereta persaingan. Pihak yang menang adalah pihak yang mampu mengadaptasikan dirinya dengan cepat terhadap perubahan yang sedang terjadi.
5.  Terjadi perubahan yang cepat dalam dunia bisnis dan kehidupan sosial maupun politik. Perubahan ini perlu direspon dengan cepat agar koperasi tidak ketinggalan kereta.
 6.  Semakin pentingnya inovasi dalam berbagai sektor. Inovasi  membuat  manusia  menjadi  manja  terhadap  hidupnya.  Semua  menjadi mudah  dilakukan,  tidak  seperti  beberapa  dekade  sebelumnya.  Karena  kenyamanan  dalam  hidup  ini,  maka  siapapun  dituntut  untuk  menjadi  lebih  inovatif, termasuk koperasi.

      Menurut  Sharma  (tt),  ada  beberapa  faktor  yang  menjadi  penyebab  kegagalan koperasi :
1.  adanya perbedaan ideologi dalam penetapan tujuan.
2.  manajemen yang kurang profesional.
3.  governance yang kurang baik.
4.  kurangnya partisipasi dari para anggota.
5.  penerapan strategi yang kurang tepat.
6.  terlalu banyak kontrol legislatif.


      6.  Profesionalisme Dalam Koperasi
Agar  pengelolaan  koperasi  bisa  dikembangkan  sedemikian  rupa  sehingga  mampu bersaing dengan badan usaha sejenis maupun non koperasi, baik berskala lebih kecil maupun lebih besar, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional, maka koperasi sebaiknya memiliki profesionalisme yang tinggi (Sharma, tt) :
1.  Pada level organisasi :
     −   Visi.
Sesuai  dengan  UU  no.  25  tahun  1992  Pasal  3,  visi  koperasi  di  Indonesia  sudah  jelas,  yaitu  memajukan  kesejahteraan  anggota  pada  khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatnana perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  −   Misi.
Berdasarkan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 4, terdapat beberapa misi koperasi Indonesia, yaitu : ”Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya,
”Berusaha mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
 −   Tujuan.
Berdasarkan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 4, terdapat beberapa misi koperasi Indonesia, yaitu : Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya,
−   Sasaran.
Mengembangkan koperasi yang sudah eksis agar mampu untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya maupun masyarakat di sekitarnya. Menjalin kerja sama antar koperasi, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional sebagaimana diamanatkan dalam Penjelasan UU no. 25 tahun 1992 Pasal 5 ayat (2).Kerja sama yang bisa dilakukan koperasi juga bisa dilakukan dengan badan usaha  non  koperasi,  terutama  dengan  usaha  bisnis  berskala  besar  guna memperoleh keuntungan yang simbiosis mutualistis.
  −   Budaya.
Mampu menciptakan budaya koperasi yang bisa berbeda tergantung dari bentuk koperasi dan lokasi koperasi adalah penting, karena budaya organisasi adalah pembentuk perilaku seluruh orang yang ada dalam koperasi. Dengan demikian perilaku yang ada lebih relatif seragam untuk mencapai tujuan bersama.
2.  Pada level manajemen :
  −   corporative  governance,  adalah penyajian sistem manajemen yang demokratis ketika pelaksanaan otoritas berasal dari keanggotaan koperasi.
  −   Memperkuat sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang ada dalam koperasi,  yaitu  para  anggota  koperasi,  perlu  diberdayakan  dalam  masalah pemahaman akan kepentingan bersama.
  −   Kepercayaan  dan  dedikasi  dari  pemimpin.  Ketika  pimpinan  memberikan kepercayaan  kepada  bawahannya  untuk  melakukan  pekerjaannya,  tanpa perlu melakukan banyak kontrol, maka bawahan tersebut akan melakukan pekerjaannya  dengan  baik  sekali  karena  merasa  dipercaya  (trusted). 
  −   Harmonisasi  pada  semua  level  organisasi.  Harmonisasi memiliki makna adanya keseimbangandi  semua level organisasi, dalam hal ini koperasi,  dalam hal perencanaan akan apa yang akan dituju, implementasi atas apa yang telah ditentukan dan pengawasan atas apa yang telah dicapai dengan tetap berlandaskan kepada visi dan misi yang telah ada dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga..
 −    Penerapan  teknologi.  Penerapan  teknologi  tergantung  kepada  jenis  atau bentuk koperasi yang ada, tetapi paling tidak koperasi berbentuk apapun dalam  saat  ini  wajib  memiliki  tenaga  yang  mampu  menguasai  informasi teknologi,  misalnya   dalam  hal  pengemasan    informasi   koperasi  dengan bagus untuk digunakan oleh usernya, kemampuan menaftaankan web, internet dan chatting, juga kemampuan menggunakan social media yang bisa menurunkan biaya promosi koperasi dan berhasil guna seperti penggunaan media promosi bisnis.
3.  pada level operasional :
a)  adanya pemahaman akan masalah keuangan, berkaitan dengan penyusunan pembukuan  yang  baik,  penyusunan  laporan  keuangan  tanpa  adanya  window dressing, sehingga semua kegiatan koperasi bisa transparansi dan mudah dipertanggungjawabkan kepada siapapun, termasuk kepada pihak-pihak eksternal.
b)  Pengelolaan pembiayaan dalam hal :
−   Manpower  downsizing,  merupakan  penciutan  tenaga  kerja  dalam  sebuah usaha. Menurut penulis, penciutan tenaga kerja di Indonesia justru tidak  perlu  dilakukan  koperasi,  karena  semakin  banyak  anggotanya, maka koperasi itu akan semakin memebrdayakan para anggotanya, dengan  syarat  pimpinan  koperasi  mampu  jujur  dan  benar  menjalankan manajemennya.
 −   Peningkatan  produktivitas.  Semakin  tinggi  produktivitas  setiap  anggota koperasi, maka semakin efisien koperasi tersebut dan diharapkan semakin tinggi pula pembagian sisa hasil usahanya.
 −   Pendisiplinan  dalam  masalah  keuangan.  Uang  adalah  masalah  yang peka bagi banyak orang. Karena itu pengelola keuangan koperasi haruslah orang-orang terpilih yang tidak silau oleh uang dan memiliki kejujuran tinggi.
c)  Memahami manajemen resiko. Resiko terjadi di manapun, termasuk dalam koperasi. Karena itu pemahaman resiko berusaha perlu diterapkan kepada semua anggota koperasi agar tidak terjadi salah persepsi antara anggota dan pengurus.
d)  Adanya  diversifikasi  usaha.  Peluang  untuk  melakukan  diversifikasi  usaha akan semakin mudah ditemukan bila semua anggota koperasi memiliki pola pikir yang kritis dan sistematis. Hal ini memang tidak mudah dilkukan, karena tingkat pendidikan yang masih cukup rendah dari para anggota koperasi

 7.  Penutup
Profesionalisme  dalam  koperasi  tampaknya  tidak  bisa  ditawar  lagi  harus  menjadi sebuah kewajiban bagi para pihak yang prihatin dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, khususnya pemerintah dan dunia pendidikan, karena begitu perkoperasian di Indonesia berhasil, maka tingkat kemiskinan dan pengangguran yang ada akan bisa ditanggulangi.
     Pengembangan  profesionalisme  bagi  koperasi  memang  tidak  mudah  mengingat  tingkat pendidikan   dari banyak   masyarakat   Indonesia   masih  rendah.  Tetapi mengingat peran koperasi dalam memakmurkan masyarakat Indonesia, maka dibutuhkan partisipasi dari seluruh pihak, bukan hanya pemerintah dan dunia pendidikan. Masih  perlu  adanya  uluran  tangan  berbagai  pihak  di  Indonesia  untuk  memajukan perkoperasian Indonesia :
1.       Pemerintah
Pemerintah, baik pusat dan daerah, seyogyanya mulai menaruh perhatian yang fokus kepada pengembangan koperasi di Indonesia. Semua peraturan yang ada perlu diperhitungkan ulang, mana yang perlu diperbaiki dan mana yang perlu disusun sebagai landasan formal mengembangkan perkoperasian di Indonesia. Pemerintah  pusat  harus  mampu  bekerja  sama  dengan  pemerintah  daerah  dalam berbagai hal yang bisa mempengaruhi kehidupan perkoperasian Indonesia, sebagaimana terjadi saat ini.
Selain itu penegakan hukum atas pelanggaran semua peraturan yang ada harus ditegakan agar semua upaya untuk memberdayakan koperasi di Indonesia tidak mandul dan sia-sia.
2.       Dunia pendidikan.
Dunia pendidikan, baik tingkat dasar, menengah maupun tinggi, sebaiknya mulai melakukan koordinasi satu dengan yang lain untuk memberikan perhatian tinggi kepada pemberdayaan koperasi, termasuk penilaian perlu tidaknya pelajaran koperasi masuk dalam kurikulum pendidikan sejak tingkat dasar. Dengan demikian pengetahuan akan koperasi menjadi seuatu yang mendasar dan berakar dalam  diri  tiap  anak  sekolah  dan  diharapkan  mereka  mampu  menjadi  sarana sosialisasi  bagi  orang-orang  di  sekitarnya  yang  belum  memahami  pentingnya
koperasi bagi pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Universitas diharapkan memberikan peran yang tidak sekedar formalitas dalam membina koperasi dan UMKM. Maksudnya adalah bahwa beberapa kasus menunjukkan kalau pembinaan yang selama ini dilakukan dirasakan kurang efektif, karena tidak berkelanjutan. Menurut penulis, pembinaan dari pihak universitas yang lebih baik berupa pendampingan selama beberapa waktu yang cukup panjang dan berkelanjutan, misal satu tahun. Karena dari pihak universitaslah pembinaan profesionalisme, terutama yang berkenaan dengan manajemen dan masalah kepemimpinan.  Tanpa  manajemen  dan  kepemimpinan  yang  baik,  maka  sulit mengharapkan koperasi di Indonesia berkembang sebagaimana rekan-rekannya di negara-negara maju.
3.       Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Saat ini banyak LSM, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, yang memberikan perhatian kepada pengembangan koperasi. Bisa saja LSM ini membantu pemerintah dalam hal pendanan bagi koperasi yang masih  kesulitan  mendapatkan  dana,  atau  juga  melakukan  pendampingan yang membantu pihak universitas dalam mendidik para anggota koperasi mendapatkan profesionalismenya.
4.       Usaha Besar.
Usaha besar pada umumnya memiliki profit yang (lebih) banyak dibandingkan koperasi.  Ada  contoh  menarik  di  Taiwan,  yang  UMKM-nya  sukses,  di  mana usaha besar dalam sektor industri melakukan kerja sama dengan koperasi dalam program satellite factory system, dengan industri besar melakukan sub kontrak beberapa komponen kepada industri kecil dan menengah. Pada dasarnya di Indonesia hal ini juga sudah pernah dilakukan, tetapi entah mengapa kerja sama ini kurang terdengar.
    Selain  cara  di  atas,  usaha  besar  bisa  memberikan  perhatian  kepada  usaha  kecil  dan  menengah  melalui  Corporate  Social  Cesponsibilitynya  (CSR).  Selama ini berdasarkan pengamatan penulis, masih cukup banyak perusahaan yang manfaatkan  CSR  demi  kepentingan  bisnisnya,  padahal  filosofis  CSR  adalah benar-benar  murni  tanggung  jawab  sosial  dunia  bisnis  kepada  stakehodernya, bukan merupakan strategi bisnis.


DAFTAR PUSTAKA
          Asep,       2009.      Pasar       Tradisional      yang       Mengeluh.   www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=2009518071825%20&&%20kunci-...  (16 Oktober 2009, 11:07).
Depperin.       2005.   Usaha   Kecil  Denmaek     dalam   Globalisasi,   14  Juli   2005.  http://ilmea.depperin.go.id/inteleco/detail.php?kd=1361.  (11  Oktober  2009,  pk. 16.08).
Ferrell, O.C., dan Michael D. Hartline.  2005. Marketing Strategy, third edition . South Western, part of the Thomas Corporation.
Fry,  Fred  L.,  Charles  R.  Stoner,  dan  Richard  E.  Hattwick. 2001.  Business  :  an Integrative Approach, second edition. McGraw-Hill, International Edition.
Harian Umum Pakuan  2009.  Pasar Tradisional  Harus  Jadi  Pasar  Wisata,  Selasa 16      Oktober  2009.  http://www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=20090303084441/ (16   Oktober     2009, 11.07).
Harian Umum Pakuan. 2009. Pasar Tradisional Mengeluh, Selasa 16  Oktober  2009.         http://www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita=200905180/2825%20&&%20... (16Oktober 2009, 11.07).
Hariyono.        2003.    Koperasi    sebagai     Strategi   Pengembangan Ekonomi Pancasila,    Pusat    Studi   Ekonomi      Pancasila    Universitas   Gajah    mada. http://www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul05  1/html.  (20 Oktober 2009, 13.49).
Heryadi. 2004. Pengembangan Usaha Mikro. Economic Review Journal, No. 198, Desember.
India Wine Academy.      2008.  Wine Fearure : Co-operative Power of Italy, May 09 2008. http://www.indianwineacademy.com/item 6 216.aspx#. (26 oktober 2009, 19.33).
Karsidi, Ravik.   2005. Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Usaha Mikro Kecil Menengah di Era Otonomi Daerah . Universitas Islam Batik (UNIBA), Surakarta.
Kastaman, Roni.     2002. Identifikasi Peraturan dan Perundang-undangan bagi Pemberdayaan serta Pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi. Bandung.
Kementrian  Negara  Koperasi  dan  Usaha  Kecil  dan  Menengah  Republik  Indonesia.  2008. Model Pengembangan Pasar Tradisional Koperasi, 12 Agustus 2008. http://mediacenterkopukm.com/detail-berita.php?bID=921, (16  Oktober 2009, pk. 11.20).
Kementrian    Negara    Koperasi   dan   UKM.       2009.   Suryadharma     Ali  Menneg Koperasi  dan  UKM,  Pasar  Modern  Harus  Perhatikan  UMKM,  12  Mei  2009.
http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/412-suryadharma-ali-menneg-koperasi-dan-ukm-pasar-modern-harus-perhatikan-umkm.html.  (19    Oktober 2009 : 13.30).
Kompas.       2007.   30  persen   Koperasi    di  Indonesia    macet,   31   Mei    2007. http://202.146.5.33/kompas-cetak/0705/31/sumbasel/3568970.htm. (16  Oktober 2009, 11.25).
Koran Jakarta.   2009. Koperasi dan UMKM Harus ”Go Local”.  http://www.koran jakarta.com/ver02/file-pdf.php?id=13864&&idkat=0 (11 okt 09, 16.13).
Kotler, Philip,  2001. Marketing Management, Millenium Edition . Prentice Hall.
Kuncoro,  Mudradjad.      2008.  Strategi  Pengembangan  Pasar  Modern  dan  Tradisional. Laporan Akhir, Kajian Rvaluasi Pemanfaatan Bantuan Sarana Pasar dalam Pemberdayaan KUKM, Kadin Indonesia.
Mathari,   Rusdi.    2009.   Hyoermarket    :  Mereka   yang   Digusur    si Besar. www.majalahtrust.com/ekonomi/sektor riil/355.php. (16 Oktober 2009, 10: 28).
Mubyarto.   2003. Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi, Universitas Gajah Mada. www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul05  3/html.  (20 Oktober 2009, 13.44).
Mubyarto.  2004. Ekonomi Pancasila: Dua  Tahun Pustep-UGM, Pusat   Studi   Ekonomi     Pancasila,   Universitas Gajah  Mada. www.ekonomirakyat.ugm.ac.id/My%20Web/sembul023  1/htm.            (20 Oktober 2009, 13.32).
Paskarina, Caroline, Dede Mariana, dan Tjipto Atmoko.     2007. Evaluasi Kebijakan Pengelolaan  Pasar  di  Kota  Bandung.  Pusat  Penelitian  Kebijakan  Publik  dan Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Perindustrian dan Perdagangan.   1997. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan  Republik   Indonesia  no. 420/MPP/Kep/10/1997  tentang     Pedoman   Penataan  dan  Pembinaan  Pasar  dan  Pertokoan.  Departement  Perindustrian  and Perdagangan.
Sadli,     Muhammad.        1999.      Pemberdayaan       Usaha       Kecil     dan Menengah,       Business      News,      tanggal     13     Desember        1999. http://www.pacific.net.id/pakar/sadli/1299/131299.html. (11 okt 09, pk. 16.36).
Sharma, Paramjit. Cooperative Development in Different Countries for International Programme on Banking for Development. Unpublished Powerpoint.
Soesilo, Iskandar, tt. ”Pengertian Koperasi”, disadur dari buku Dinamika Gerakan Koperasi Indonesia, karangan H.M. Iskandar Soesilo.
Tjakrawerdaja, Subakto. 2009. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah,  8 Januari 2009. http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=832. (11 Oktober 2009, 16.03).
Undang-undang Nomor 25 tahun  1992 tentang Perkoperasian. 




Nama Anggota Kelompok :
1. Cinthia Febriani       (21210595)
2. Fathia Nafira Fariz   (29210128)
3. Sarah Nadia            (28210925)
4. Susilona Agustina    (26210757) 

Kelas : 2EB10

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates