Selasa, 27 Desember 2011

"Review jurnal"

MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
Mubyarto


Nama   Kelompok       :
1. Cinthia Febriani                  (21210595)

2. Fathia Nafira Fariz              (29210128)

3. Sarah Nadia                        (28210925)

4. Susilona Agustina               (26210757) 

Kelas                           :  2EB10


I. Pendahuluan
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.

 
Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Hal yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:


Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
III . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomiNeoklasik. Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.
Pemikiran yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.

VI . KESIMPULAN
Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan  ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir  tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalahhomo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi  pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi  Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya  yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita  “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila. 

-    James A. Caporaso & David P. Levine, 1992. Theories of Political Economy, Cambridge University Press, Cambridge.
-    Paul Ekins & Manfred Max-Neef (ed). 1992, Real-Life Economics, Routledge. London-New York.
-    Steve Keen, 2001. Debunking Economics, Pluto Press-Zed Books, New York.
-    Daniel B. Klein (ed), 1999, What Do Economists Contribute, New York University Press, New York.
-    Robert H. Nelson, 2001. Economics as Religion. Pennsylvania State University, University Park.
-    Paul Ormerod, 1994. The Death of Economics, Faber  & Faber, London. 

Sumber:   http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/artikel_3.htm

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates